MALANGVOICE – Mantan Direktur Polinema, Awan Setiawan diperiksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, Kamis (22/2). Awan diperiksa terkait pengadaan lahan untuk pengembangan kampus tahun 2020.
Awan Setiawan hadir didampingi kuasa hukum, Didik Lestariono.
“Pak Awan diperiksa sejak pukul 10.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB. Total ada 54 pertanyaan yang diberikan penyidik,” kata Didik.
Baca Juga: Sasar 25.690 Anak, Vaksinasi Polio Putaran Kedua Digelar hingga 25 Februari
Lantik Anggota BPD, Sinergi Antara Pemdes Kunci Memajukan Desa
Didik menyebut pertanyaan yang diberikan terkait kasus yang ditangani penyidik, yakni dugaan penyimpangan penetapan harga tanah tidak berdasarkan penilaian dari KJPP atas kewajaran harga tanah.
Pengadaan lahan itu berlangsung pada periode kepemimpinan Awan Setiawan saat menjadi direktur Polinema pada 2017-2021. Awan membentuk panitia pengadaan tanah yang disebut Tim 9 pada 2019.
Sebelumnya, penyidik Kejati Jatim juga sudah mengambil keterangan dari Tim 9.
Didik menjelaskan, proses pengadaan tanah diputuskan Tim 9. Tim yang khusus dibentuk untuk pengadaan tanah pengembangan Polinema.
“Dan tim 9 itu, ada ketuanya sendiri dan penanggung jawabnya. Ketuanya bukan Pak Awan,” jelasnya.
Selain itu, terkait harga tanah yang dibeli seharga Rp6 juta per meter itu sudah sesuai telah sesuai dan mengacu pada Perpres 148 tahun 2015 dan Permen ATR/BPN nomor 5 tahun 2012.
Diketahui lahan yang akan dibeli dengan luas keseluruhan mencapai 7.104 meter persegi (m²) dengan nilai total sebesar Rp42.642 miliar. Lahan berada di sisi barat utara kampus Polinema merupakan satu kesatuan yang saling menyambung, terdiri hanya 3 bidang tanah.
Selama proses itu, Tim 9 sudah melalui prosedur termasuk menentukan harga beli tanah. Didik mengatakan Tim 9 sudah mengacu ke Kecamatan Lowokwaru, BPN, dan berkas penawaran dua pemilik lahan yakni atas nama Hadi Santoso, Eko Witono dan Yetty Purwanti kepada Direktur Polinema saat itu.
Dari acuan itu sehingga muncul harga lahan antara Rp4,5 juta sampai Rp17 juta per meter.
“Dari keterangan-keterangan diatas maka wajar apabila pihak Polinema membeli tanah untuk perluasan lahan senilai Rp6 juta per meter bersih sudah termasuk pajak. Sedangan untuk pajak pembeli Rp3 miliar dan pajak penjual Rp4,3 miliar,” jelas Didik.
“Intinya bahwa pengadaan tanah di bawah satu hektare tidak perlu menggunakan (jasa) appraisal,” imbuhnya.
Bahkan menurutnya, dari pemeriksaan yang dilakukan, kerugian negara diperkirakan muncul akibat sisa pembayaran yang menyisakan 3 termin, karena terhenti ketika Awan Setiawan habis masa jabatannya pada 2021.
“Kan ada sisa tiga termin, totalnya sekitar Rp20 miliar, itu pembayarannya terhenti sejak Pak Awan tidak menjabat. Padahal anggaran sudah disiapkan, dan sudah masuk dalam DIPA 2022” jelasnya.
“Pihak Polinema terancam terkena denda keterlambatan dan berubahnya nilai NJOP tanah dari pemilik tanah. Karena tidak membayar termin yang disepakati dalam akta notaris,” pungkas Didik.(der)