Lebih Dekat dengan Sosok Aziz Syamsuddin

Calon Ketua Ketua Umum Partai Golkar, Aziz Syamsuddin, tampil memukau pada penyampaikan visi misi di Zona II (Jawa) yang berlangsung di Surabaya, Rabu, (11/5)

Aziz2MALANGVOICE – Aziz Syamsuddin merupakan salah satu politisi muda yang terus bersinar karir politiknya. Pria kelahiran Jakarta, 31 Juli 1970 itu, kini menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Kolektif (PPK) Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957, dan dipercaya sebagai Sekretaris Fraksi Golkar DPR RI.

Masa kanak-kanak sampai remajanya dihabiskan di banyak kota, karena mengikuti jejak langkah sang ayah yang pegawai negeri, yang sepanjang hidupnya mengabdi di PT Bank Negara Indonesia (BNI) 1946.

Putra bungsu dari lima bersaudara pasangan Haji Syamsuddin Rahim dan Hajjah Chosiah Hayum itu dididik dan dibesarkan dengan sentuhan penuh kasih sayang, namun tetap dibarengi penerapan disiplin tinggi serta penanaman ajaran agama Islam yang ketat.

Di masa kecil, Aziz setiap hari harus mengaji. Aziz dan empat kakaknya juga diwajibkan sudah berada di rumah sebelum masuk waktu Maghrib, agar bisa sholat Maghrib berjamaah. Disiplin menunaikan Maghrib berjamaah di rumah diterapkan sampai Aziz menyelesaikan bangku SMA.

Dari disiplin dan aturan kumpul bersama yang digariskan orang tua, Aziz menangkap kesan sangat bermakna yang tetap membekas di jiwanya sampai saat ini. Apa itu? Esensi dari penerapan disiplin itu bukan segi kuantitasnya, tapi kualitas dari kebersamaannya. Dalam kebersamaan itu seluruh anggota keluarga bisa saling berkomunikasi, tukar pikiran, dan berdialog terbuka satu sama lain.

Orang tua Aziz terbiasa memberi hadiah kepada anak-anaknya yang nilai rapornya bagus, bisa berupa mainan, sepeda, atau sepatu kets merek Puma, yang saat itu sedang menjadi mode. Sebagai kepala cabang BNI, ayahnya mampu memberikan materi kepada anak-anaknya. Tapi, untuk urusan uang harian, tidak ada kata royal.

Sebagai bentuk disiplin lain yang diterapkan kepada Aziz dan empat kakaknya, sang ayah sangat membatasi uang saku mereka. Seingat Aziz, waktu SD dia hanya dijatah Rp 50-Rp 75 rupiah setiap hari. Sewaktu di SMA Rp 1.500 untuk seminggu. Bahkan, sampai menyandang status mahasiswa pun uang saku masih dijatah. Untuk seminggu Aziz dijatah Rp 100 ribu.

Tak aneh, setamat SMA pada 1989, dia bisa langsung mengenyam perguruan tinggi negeri tanpa harus menjalani proses tes seleksi penerimaan mahasiswa baru (saat itu disingkat Sipenmaru, sekarang istilahnya SPMB).

Melalui program PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan), dia diterima sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat.

Tapi, baru mengecap dua semester berkuliah di Unand, Aziz terpaksa meninggalkan Kota Padang sekaligus kampus tercinta, karena harus mengikuti keluarga besarnya, setelah sang ayah dipindah-tugaskan ke Jakarta.

Sesampai di ibukota, dia langsung mencari perguruan tinggi yang bisa mengaplikasi atau menerima konversi nilai SKS mata-mata kuliah ekonomi yang telah diperolehnya di kampus lama. Aziz mendaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi, Universitas Krisnadwipayana (FE-Unkris). Setahun kemudian, dia mendaftar ke Fakultas Hukum Universitas Trisakti (FH-Usakti).

Ada latar belakang dan motivasi tertentu mengapa dia mengikuti dua jenis perkuliahan di dua kampus berbeda. Pertama, dia mahasiswa pindahan dari perguruan tinggi negeri (PTN). Kedua, dia diterima di PTN tanpa melalui tes Sipenmaru dan terpilih sebagai peserta PMDK.

Sejak itu mulailah hari-hari Aziz dipenuhi jadwal kuliah di dua kampus berbeda. Pagi hari dia kuliah FH Usakti, dan sekitar pukul 16.00 sore kuliah FE Unkris. Karena kuliah di Unkris waktu itu dimulai pukul 17.00 sore sampai pukul 21.00 malam.

Aziz menyelesaikan kuliah di Unkris pada 1992 akhir. Berbekal ijazah ekonomi akuntansi, dia langsung bekerja di PT AIU Insurance, perusahaan joint venture antara Indonesia dan Amerika Serikat yang fokus pada asuransi jiwa dan kerugian.

Setelah lulus dari Usakti pertengahan 1993, dia pindah kerja dan bergabung dengan PT Panin Bank, sebagai officer development program (ODP) VII, dengan tugas utama di bidang operational banking.

Profesi sebagai bankir yang prospektif ternyata belum memuaskan jiwa Aziz. Dia ingin mengaktualisasikan ilmu hukumnya secara konkret. Dan, profesi advokat pun menjadi pilihannya.

Setahun bekerja di Panin Bank, dia melamar di sejumlah kantor advokat. Dia sebenarnya diterima bekerja beberapa kantor advokat, tapi Aziz menetapkan diri untuk bergabung ke Gani Djemat & Partners (GDP) Law Office, salah satu kantor advokat ternama di Indonesia.

Kiprahnya sebagai advokat di GDP dimulai pada 1994 dan meniti karier mulai dari status magang tiga bulan, lawyer (advokat/pengacara), lawyer associate, associate partner, sampai menjadi managing partner. Di kantor GDP, dia menemukan proses awal pencarian jati diri dan aktualisasi dalam menyongsong masa depan (to look up the future).

Pada saat menjadi assosiate, Aziz mendapat penghargaan sebagai lawyer terbaik di Gani Djemat & Partners Law Office. Predikat itu diberikan almarhum Gani Djemat, seorang advokat kawakan dan pimpinan GDP, dengan dasar pertimbangan bahwa dia telah menunjukkan prestasi kerja, dedikasi, dan loyalitas tinggi pada perusahaan.

“Aziz dinobatkan oleh Gani Djemat sebagai advokat terbaik di kantor GDP, dengan parameter loyalitas, prestasi kerja, dedikasi, dan performa, termasuk penilaian dari para klien GDP yang kasusnya ditangani Aziz,” kata Humphrey R Djemat, Chairman Kantor Advokat Gani Djemat & Partners (GDP).

Sewaktu Aziz diterima magang dan lawyer GDP –saat itu masih dipimpin Almarhum Gani Djemat (ayahanda Humphrey)-, Humphrey sudah melihat bahwa anak muda itu memiliki potensi sangat besar. Namun secara struktural, Aziz belum dilibatkan jauh, mengingat masih banyak advokat senior di GDP.

Begitu tongkat pimpinan GDP diserahkan Gani Djemat kepadanya, pada 1998, Humphrey langsung melakukan restrukturisasi GDP. Advokat-advokat muda dia berdayakan, tidak terkecuali energi besar yang dimiliki Aziz, yang diakomodasi dalam rangka pengembangan GDP.

Aziz dia tunjuk sebagai Kepala Divisi Litigasi GDP. Posisi Aziz terus menanjak sampai akhirnya dipercaya sebagai managing partner (orang kedua di GDP setelah dirinya selaku chairman).

Menurut Humphrey yang juga Ketua DPC AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) DKI Jakarta itu, banyak hal yang menonjol pada sosok Aziz. “Orangnya sangat bertanggung jawab pada pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Tanpa banyak bicara, dia langsung menangani sendiri kasus-kasus yang diserahkan kepadanya dan menyelesaikannya dalam waktu singkat. Gambaran itu menonjol sekali pada kinerja Aziz,” ujarnya.

Aziz juga tak pernah berkeluh kesah kepada Humphrey menyangkut hambatan yang dihadapinya dalam menangani kasus yang dibebankan kepadanya. Apalagi sampai meminta Humphrey selaku pimpinan agar terlibat langsung pada penanganan kasus. Aziz biasanya baru menghadap saat melaporkan bahwa tugasnya telah selesai.

Pada 1996, Azis diberi kesempatan melanjutkan studi hukum (S-2) di luar negeri. Setelah menyelesaikan studi S-2 di universitas asing selama 1,5 tahun, Aziz berhak menyandang gelar Master of Applied Finance (MAF). Aziz kembali ke Gani Djemat & Partners, dan tak lama berselang, dia diangkat sebagai partner.

Saat menjadi partner, ia kembali mengambil studi S-2 di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, dengan spesialisasi bidang hak asasi manusia (HAM). Beberapa bulan setelah menyelesaikan studi di Unpad, dengan menyandang titel Master Hukum (MH), Azis mendapat promosi jabatan lagi sebagai managing partners.

Sewaktu menempati posisi strategis sebagai managing partners, dia memutuskan pindah jalur ke politik praktis. Kesempatan terbuka ketika dia ikut mencalonkan diri sebagai anggota DPR-RI dari Partai Golkar pada Pemilu Legislatif 2004. Penyandang empat gelar SE, SH, MH, MAF, ini langsung mendapat kepercayaan besar dari rakyat.

Kesuksesan Aziz tak lepas dari kegandrungannya untuk tak henti-hentinya memperkaya diri dengan ilmu dan pengetahuan, yang diperolehnya dari jalur pendidikan. “Belajar itu hukumnya wajib, tanpa dibatasi ruang dan waktu, sejak dari buaian ibunda hingga akhirnya maut menjemput dan jasad dimasukkan ke liang lahat. Kemauan besar untuk terus belajar merupakan syarat mutlak dari kesuksesan. Tuntutlah ilmu bahkan sampai ke negeri Cina,” katanya.

Aziz berpandangan, walaupun bergiat di pentas politik dan di dunia bisnis, seseorang harus memiliki wawasan legal ground basic atau basis keahlian yang memadai. Tanpa dasar yang kuat, orang akan kehilangan arah.

Bila seseorang memutuskan berkecimpung di dunia bisnis, politik, atau organisasi, tapi tidak mempunyai keahlian dasar yang kuat, atau talenta yang andal di bidang yang digeluti, maka pekerjaan yang dilakoninya relatif tak akan memberi hasil maksimal, karena sifatnya trial and error.

Walaupun hal itu tidak bisa digeneralisasi secara kaku, sebab setiap orang memiliki keberuntungan (fortune) berbeda-beda satu sama lainnya, namun keberuntungan diri sendiri harus bersifat terukur.

Maksudnya, diri harus bisa menakar sejauh mana peluang target-target yang ditetapkan dapat tercapai dengan mendasarkan pada besaran kapasitas keilmuan dan talenta yang dimiliki.

“Bila kita mengharapkan datangnya keberuntungan itu dan menganggapnya hanya sebagai keajaiban tangan Tuhan, tanpa ada ikhtiar sama sekali, itu merupakan sikap yang sangat fatal dan justru membahayakan diri sendiri,” ungkapnya.

“Kita juga memang tidak bisa mengesampingkan adanya faktor kekuasan tangan Tuhan yang niscaya sifatnya. Sekuat apapun kita berusaha, bila Tuhan memutuskan tidak, maka tidak. Tapi tanpa usaha yang terukur, Tuhan pun tidak akan mengabulkan doa dan permohonan kita. Tidak ada ceritanya, orang yang hanya duduk-duduk santai bisa sukses,’ tambahnya.

Aktivitas berzikir atau mendekatkan diri secara ikhlas kepada Tuhan cenderung dijalankan pada malam hari. Sangat jarang dilakukan pada siang hari sebab pada siang hari itu harus diisi dengan bekerja dan berusaha secara nyata.

Dalam memaknai hidup dan kehidupan ini, kapan dan di mana pun berada, ada satu falsafah hidup yang selalu dipegang Aziz Syamsuddin: “Berusaha membuat sesuatu itu berarti bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.”

Aziz berpandangan, ada lima pedoman yang sepatutnya dipegang setiap insan dalam memaknai hidupnya agar dapat memberikan hasil yang berarti.

Pertama, prestasi dalam arti kemampuan. Kedua, pengakuan dari lingkungan. Bahwa kemampuannya diakui, sebagai contoh seseorang kuliah, lulus, dan mendapatkan gelar kesarjanaan. Gelar itu kemudian diakui lingkungan memang diperoleh dari pendidikan di perguruan tinggi, bukan dari transaksi jual-beli.

Ketiga, berbekal kesarjanaan itu, seseorang bisa bekerja dan mencari pendapatan guna menghidupi keluarga. Keempat, kemampuan melakukan pendekatan baik kepada lingkungan maupun kepada diri kita sendiri, dengan berbekalkan pada gabungan dari tiga hal tersebut di atas. Kelima, kemampuan membaca setiap peluang sesuai dengan empat hal yang telah lebih dulu kita miliki.

Contohnya, seseorang yang ingin makan buah durian yang masih tergantung di pohonnya harus melihat peluang yang ada, apakah hanya menunggu pasif dengan harapan buah durian akan jatuh ke tanah esok pagi ataukah dia secara aktif menjatuhkan durian ke tanah menggunakan galah untuk kemudian diperam. Peluangnya pun harus ditakar apakah memang sudah waktunya durian itu dimakan.

Tapi, proses menikmati durian itu harus dimulai dengan tahap memilih bibit, menanam, menyiraminya, memberinya pupuk, dan merawatnya dengan tidak menyampingkan faktor tangan Tuhan. Misalnya, jika datang banjir atau serangan hama, tidak jadi juga itu barang dinikmati. Kita harus pikirkan itu.

Banyak rekan Aziz mempertanyakan mengapa dia meninggalkan dunia advokat justru di saat berada pada posisi prestisius sebagai managing partner.

Dia menjelaskan bahwa dia tidak ingin menjadi orang yang hanya diam terpaku pada satu sektor saja. Dia ingin memasuki wilayah dengan skop yang lebih besar untuk kepentingan yang lebih besar. Aziz tipe orang yang suka dengan tantangan. Tapi, tantangan yang akan dia ambil haruslah terukur, atau bisa diukur. Setiap orang harus mengukur setiap peluang yang ada, istilahnya mengukur baju.

Seseorang harus mempunyai naluri mengukur kapasitas diri, yakni segenap kemauan, kemampuan, dan talenta yang dimilikinya. Jadi kalaupun seseorang berspekulasi terhadap sesuatu, maka spekulasi itu terukur sifatnya sebab kesempatan itu terus berjalan seiring dengan waktu. Seseorang harus bisa mengukur diri (kemauan, kemampuan, dan talenta yang dimilikinya) dalam menangkap setiap peluang yang terpampang di hadapannya.

Ibarat akan membeli baju, seseorang mesti sudah punya ukuran yang disesuaikan dengan ukuran tubuhnya, apakah S, M, L, XL, atau double XL. Sangat aneh jika sudah jelas bentuk tubuhnya kecil tapi meminta baju berukuran double XL. Tidak mungkin pas baju itu dengan tubuhnya.

Akhirnya, semua ukuran baju dicoba-coba karena tidak punya gambaran pasti berapa ukuran standar tubuhnya. Padahal, proses coba-coba tersebut menyita banyak waktu. Habis peluang. Momentumnya sudah hilang. Sudah tidak up to date.

Kunci keberhasilan Aziz lainnya adalah sepanjang manusia berusaha dengan penuh disiplin, Tuhan pasti akan memberi jalan. Aziz pandai dalam menyiasati ruang dan waktu dengan disiplin bangun di pagi hari. Berdasarkan pengalamannya selama ini, dengan bangun pagi, akan ditemukan banyak ide apa yang akan dan harus dikerjakan pada hari ini.

Makanya, bila membuat janji pertemuan dengan seseorang, dia pasti meminta waktu pada pagi hari sekitar pukul 7.00 WIB atau 7.30 WIB sekalian sarapan pagi bersama-sama. Jika bangun siang, menurutnya seraya mengutip istilah jaman kiwari: rezeki sudah dipatok ayam duluan. “Jadi sebelum ayam yang matok, kita patok dulu,” katanya.

Paling tidak, di waktu pagi hari, seseorang bisa berpikir secara otonom apa yang akan dilakukan seharian ini, tanpa harus berhadapan dengan berbagai persoalan yang sifatnya tidak in line dengan ide dan prospek yang sedang dipikirkan.

Contoh riil, di pagi hari biasanya jarang menerima telepon. Biasanya interaksi dan sosialisasi, termasuk berkomunikasi lewat telepon, berlangsung mulai dari pukul 10.00 WIB pagi sampai 20.00 WIB malam. Setelah pukul 21.00 WIB malam jarang yang menelpon kecuali ada hal-hal yang bersifat darurat.

Secara rutin, sebelum menuju kantornya di Gedung DPR, Sekretaris Umum Ikatan Alumni Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, ini pasti lebih dahulu memonitor perkembangan beberapa perusahaan yang dimiliki dan dikelola keluarga besar di mana isterinya pun ikut terlibat di dalamnya. Perkembangan Kantor Advokat SYAM&SYAM Advocate and Solicitors –-perusahaan yang didirikannya bersama beberapa rekan juga tak luput dari pantauannya.

Setelah itu sekitar pukul 9.00 WIB, dia langsung ke kantornya di Lantai 10 Gedung DPR-RI, Senayan, untuk menjalankan tugas-tugas rutin sebagai wakil rakyat sampai selesai.

Dia punya prinsip, hari-hari patut diisi dengan hal-hal yang positif. Masalah hasil itu urusan belakangan. Karena, logikanya, tidak mungkin pohon itu berbuah jika tidak rutin disiram, diberi pupuk, dan dirawat dengan sepenuh hati. Setiap orang akan menikmati hasil hanya dari apa yang telah dia tanam.

Karakter seorang Aziz bukan tipe orang yang mau statis dalam berpikir dan berusaha. Dia adalah sosok yang sangat mobile, dinamis dan energetik dalam mengaktualisasikan diri dan dalam memaknai hakikat keseharian hidupnya. Dia selalu ingin mengalami perkembangan diri lewat berbagai pekerjaan dari waktu ke waktu. Dia senantiasa menyandarkan diri pada perspektif ajaran dan nilai Islam yang dianutnya bahwa manusia diperkenankan mencari rezeki itu sebanyak-banyaknya di muka bumi ini, dan setelah itu menyisihkan sebagian yang rezeki tersebut untuk beramal.

Aktivitas yang superpadat itu menuntut Aziz agar senantiasa memiliki stamina dan energi yang prima setiap hari. Karena itu, setiap pagi, setelah menunaikan Shalat Subuh, Aziz berolah raga dengan joging berkeliling kompleks perumahan di mana dia bermukim, selepas itu dilanjutkan dengan treadmill selama 30 menit di dalam rumah.

Kalaupun harus pergi pagi-pagi sekali untuk urusan kantor, kegiatan olah raga pasti dijalankannya pada sore harinya. Jika tidak berolah raga setiap pagi, Aziz merasakan ada sesuatu yang kurang saat menjalankan aktivitas kesehariannya. Minimal, dia berprinsip, setiap hari harus ada pembakaran kalori pada tubuhnya.

Masalah kepemimpinan di organisasi, Aziz berpendapat, seorang pemimpin yang baik harus paham di mana batasan peranannya dan tahu persis kapan harus berhenti/mundur serta menyerahkan tongkat estafet kepada generasi muda.

Aziz menggaris-bawahi, kunci keberhasilan seorang pemimpin, dan sebuah kepemimpinan, adalah ketika dia mampu menciptakan satu generasi pemimpin baru, yang akan menggantikan posisinya.

Di mana para pemimpin dari generasi baru tersebut minimal harus memiliki kualitas dan kapabilitas yang sama dengan kepemimpinan yang lama. Dan, kepemimpinan yang baru ini seharusnya lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya.

Jadi, menurutnya, seorang pemimpin harus memiliki sifat sebagai hamble leadership, yaitu kepemimpinan yang bijak. Dia harus legowo kalau rekanannya atau kadernya ingin mengembangkan diri demi kemajuan dan kebaikan bersama.

Logikanya, bila kadernya sukses berarti sang pemimpin tadi berhasil secara organisasional. Artinya, sang pemimpin sukses menciptakan kader yang juga mampu mengembangkan organisasi. Dan kader tadi tidak akan melupakan jasa sang pemimpin.

Seperti halnya dinamika pada dirinya, Aziz menekankan, tidak selamanya menggeluti dunia parlemen. Suatu saat nanti, dia pasti akan mencoba merambah ke dunia lain. Secara positive thingking, dia akan menerapkan pepatah bijak dari Jawa ing ngarso suntolodo, ing madio mangun karso, tut wuri handayani sebagai wujud lebih mengedepankan kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan pribadi atau kelompok.