Kurang Pembinaan, Padepokan Seni Mangun Dharma Tetap Mandiri

MALANGVOICE – Desa Tulus Besar Kecamatan Tumpang mengeluhkan kurangnya pembinaan seni di daerahnya padahal sudah mendapat gelar desa pariwisata sejak 1999. Sejauh ini, kelompok seni di desa ini berusaha terus mandiri bahkan tak jarang mengadakan pagelaran dengan biaya sendiri.

“Selama ini masyarakat tergolong antusias tentang kesenian bahkan mereka senantiasa menjadi kelompok seni yang mandiri. Namun memang diakui pembinaan dari Dinas Pariwisata Provinsi selama ini belum ada,” ujar kepala desa Tulus Besar, kecamatan Tumpang, Sri Widarti kepada MVoice.

Ia melanjutkan, bantuan memang sempat diberikan berupa panggung desa dan alat kesenian namun pembinaan sampai saat ini tidak ada. Bahkan, salah satu padepokan kesenian yang sudah Go Internasional, padepokan Mangun Dharma, juga selalu bergerak mandiri.

Seni pertunjukan di padepokan (istimewa)
Seni pertunjukan di padepokan (istimewa)

“Dibina pak Sholeh, padepokan tersebut mandiri hingga saat ini. Antusiasme cukup menurun karena sudah jarang lagi ada turis yang belajar disana sejak pak Sholeh selaku pemilik bercerai dengan istrinya yang merupakan keturunan Amerika,” tambahnya.

Padepokan Mangun Dharma yang berdiri sejak 1989 ini dirintis dan tersohor hingga mancanegara salah satunya karena pengaruh istri pemilik padepokan yang merupakan bule dan mengajar kesenian pada penduduk pribumi.

Padepokan yang mengajarkan seni tari Malang, unit karawitan, unit seni wayang topeng, mocopat, jaran kepang dor (Turonggo Kusumo), Bantengan (Handoko Mulyo), kerajinan topeng, kerajinan wayang kulit, dan pembelajaran batik untuk mahasiswa asing tetap eksis meskipun berbiaya secara swadaya.

“Kelemahan seni di Indonesia adalah belum ada Perda tentang kesenian dan kebudayaan sebagai payung hukumnya. Sehingga kita tau sendiri dana APBD kesenian 0 rupiah sementara olahraga mencapai Rp.6 Miliar. Bahkan lulusan kesenian yang cukup banyak di Indonesia tidak tertampung dalam hal pekerjaan di di bidangnya,”ujar pemilik padepokan Mangun Dharma, M Sholeh Adi Pramono.

Ia melanjutkan, sehingga untuk tetap produktif dan eksis, padepokan sendiri mengadakan kursus pelatihan kesenian seminggu sekali, privat kesenian sewaktu waktu, dan imbalan jasa pertunjukkan.

Mirisnya, seni tari dijadikan muatan lokal sementara impor barat dijadikan wajib. Selain itu, seringkali Dinas Pariwosata dan Budaya berseberangan dengan seniman di Kabupaten.

“Seakan akan para seniman dimanfaatkan lokal kejeniusannya oleh mereka,” tegasnya.

Sementara itu, kelompok mahasiswa yang sedang melakukan pembelajaran di Padepokan tersebut, Zainul Fikri, Ketua KKN 18 Universitas Islam Malang di Desa Tulus Besar Kecamatan Tumpang mengaku hal yang sama dengan menganggap padepokan sendiri cukup potensial sebagai wisata desa.

“Secara fisik sudah bagus tetapi karena kegiatan kurang dan mungkin karena terbatas dana jadi eksistensi padepokan menurun. Saya belajar tari dan drama, pagelaran seni bantengan disana. Diharapkan, dari dinas pariwisata dapat mengangkat kembali padepokan potensi desa wisata ini,” harap dia.

spot_img

Berita Terkini

Arikel Terkait