MALANGVOICE – Kudapan ladu melekat kental bagi masyarakat Desa Gunungsari, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Suguhan yang dibuat dari beras ketan ini kerap menghiasi meja-meja ruang tamu saat lebaran tiba.
Sepintas tampilan ladu menyerupai kerupuk amplang yang menggelembung. Teksturnya renyah hanya saja ladu memiliki rasa manis. Maklum saja adonan ketan dicampur gula lalu diuleni hingga kalis.
Warga Desa Gunungsari, Ratih Rohali menuturkan, dulunya hampir sebagian besar masyarakat di lingkungannya memproduksi ladu. Pembuatannya diajarkan sejak turun temurun dan identik sebagai suguhan bersama keluarga saat hari raya.
“Jajanan ini sudah ada sejak dulu. Sudah semacam tradisi, kalau lebaran selalu ada suguhan ladu di tiap-tiap rumah,” tutur perempuan 36 tahun itu.
Makin lama, pembuat ladu di Desa Gunungsari kian jarang ditemui. Lamanya proses pembuatan yang serba manual menjadi alasan yang menyurutkan minat generasi saat ini.
Meski begitu, Ratih bersama suaminya tetap bertahan melestarikan pembuatan jajanan yang diturunkan turun temurun. Keterampilannya membuat ladu diperoleh dari generasi pendahulu. Olahan ladu tersebut menjadi sumber pendapatan keluarganya.
Sehari-hari, sambung Ratih, bisa memproduksi ladu hingga 50 kilogram atau 200 bungkus ladu jika pesanan ramai. Produk ladu bikinannya kebanyakan menyebar di seputaran Malang Raya, Sidoarjo hingga Jombang.
Ketika membuat ladu, Ratih dan suaminya dibantu enam orang tetangganya. Proses yang panjang inilah, butuh tenaga ekstra dalam pembuatan ladu. Paling tidak butuh waktu empat hari membuat ladu hingga siap dihidangkan.
“Bahannya harus beras ketan terbaik agar adonannya lentur. Asal jangan sampai putus, karena nggak bakal mengembang pas matang,” tutur Ratih.
Prosesnya, beras ketan direndam dalam air selama sehari semalam. Setelah itu, dikeringkan dan digiling hingga menjadi tepung. Tahap berikutnya, tepung ditanak hingga matang dan ditumbuk di lumpang sampai halus. Sekaligus dicampur gula yang juga dimasak. Adonan itu kemudian tinggal dipipihkan, dipotong berukuran kecil lalu dijemur sampai kering selama sehari.
“Kalau sudah dijemur, harus didiamkan dulu. Setelah itu bisa masukkan dalam oven. Bisa disimpan tahan enam bulan sejak dibuat. Asal disimpan di wadah kedap udara agar tetap renyah,” ujar dia.
Konon, penamaan ladu berasal dari akronim langgeng seduluran. Langgeng seduluran berasal dari bahasa Jawa yang memiliki makna langgeng (awet) jalinan persaudaraan. Simbol itu tercermin dari proses pembuatan yang dikerjakan gotong royong. Serta suguhan itu disajikan saat momen menyambung silaturahmi pada momen lebaran.(der)