Konflik Tenurial Penguasaan Kawasan Hutan Membelit 3 Desa di Kecamatan Bumiaji

MALANGVOICE – Kota Batu memiliki luas wilayah hampir 20 ribu hektare. Mayoritas wilayahnya dikelilingi kawasan hutan sebesar 55 persen dari luas keseluruhan.

Berkaitan dengan hal itu, berkelindan permasalahan tenurial seiring kebutuhan ruang permukiman maupun pertanian.

Di Kota Batu, konflik sengketa agraria di kawasan hutan rentan terjadi di Kecamatan Bumiaji. Mengingat wilayahnya bersinggungan langsung dengan hutan. Sengketa lahan penggunaan lahan hutan dialami warga di Desa Tulungrejo, Desa Sumbergondo maupun Desa Sumber Brantas. Sekian lama para warga menempati lahan hutan yang diklaim milik penguasaan Perhutani.

Seperti di Dusun Lemah Putih, Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji. Sebanyak 300 warga menempati lahan kawasan hutan seluas 9,79 hektare.

Mereka memanfaatkan lahan yang diklaim milik Perhutani itu, untuk pertanian maupun permukiman. Permohonan pun diajukan warga sejak 2001 lalu. Namun belum ada titik temu antara warga dan Perhutani yang mengklaim lahan itu merupakan kawasan hutan penyangga. Sehingga pada 2018 lalu, sulit ditindaklanjuti sebagai tanah objek reformasi agraria (TORA).

“Ada mekanisme untuk menyelesaikan konflik agraria di kawasan hutan. Karena butuh rekomendasi dari Tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Rekomendasi dari tim tersebut jadi dasar penerbitan sertifikat tanah oleh BPN,” papar Kepala BPN Kota Batu, Haris Suharto.

Konflik agraria lainnya di Kecamatan Bumiaji berada di Desa Tulungrejo. Di wilayah itu terdapat empat titik sengkarut penguasaan lahan kawasan hutan. Salah satunya di Dusun Junggo.

Lahan seluas 126,61 hektare difungsikan sebagai areal pertanian oleh 309 warga. Pihak Perhutani mengklaim, bahwa lahan itu masuk kawasan hutan hasil tukar guling dengan AURI di Desa Dengkol, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Reforma agraria ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan sengkarut penguasaan maupun pengelolaan di kawasan hutan. Regulasi Perpres nomor 86 tahun 2018 menjadi instrumen untuk merestrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah lebih berkeadilan. Melalui penataan aset dan akses menuju kemakmuran rakyat.

Regulasi itu memberi mandat kepada pemerintah daerah untuk membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Pembentukan GTRA Kota Batu ditetapkan pada Keputusan Wali Kota Batu nomor 188.45/79/KEP/422.012/2022. Tim ini berperan untuk menuntaskan konflik tenurial di kawasan hutan. “Gugus tugas berpedoman pada mekanisme tata kelola hutan untuk menyelesaikan konflik agraria. Harapan kami bisa teratasi seperti di Dusun Kekep, Desa Tulungrejo. 112 KK di kawasan hutan mendapat redistribusi sertifikat,” imbuh Haris.

Percepatan konflik agraria di kawasan hutan juga masuk dalam UU nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja. Lahan pertanian hingga fasos-fasus permukiman yang terlanjur berada di kawasan hutan akan ditata sesuai prinsip tata kelola kehutanan. Sejalan dengan mekanisme penyelesaian penguasaan tanah dalam rangka penataan kawasan hutan (PPTPKH).

Data yang disajikan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI Yogyakarta, usulan indikatif PPTPKH di Kota Batu seluas 281,95 hektar. Ditujukan untuk fasos-fasum permukiman dan lahan garapan. Rinciannya, di hutan konservasi untuk fasus-fasos permukiman seluas 2,63 hektar dan lahan garapan seluas 49,84 hektar. Berikutnya, fasos-fasum permukiman di hutan lindung seluas 9,79 hektar dan lahan garapan seluas 0,45 hektar. Pada hutan produksi untuk fasos-fasum permukiman seluas 43,67 hektar dan lahan garapan seluas 175,57 hektar.

“Kami meminta pemda serius menginventarisir fasos-fasum permukiman dan lahan pertanian di dalam kawasan hutan. Pengusulan juga di dalam kawasan hutan, jangan di luar kawasan,” ujar Kepala BPKH Wilayah XI Yogyakarta, Suhendro A Basori saat menghadiri rakor penyelenggaraan reforma agraria di Kota Batu.

Ia mengatakan, pelepasan kawasan hutan dikonversi menjadi permukiman maupun lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan ruang. Namun untuk mendapatkan sertifikat penguasaan tanah harus melalui kajian Tim Terpadu KLHK yang dipimpin LIPI.

“Semisal hutan konservasi, arahnya pada konsep kemitraan masyarakat. Untuk hutan lindung, bisa diterbitkan sertifikat. Namun jika dinilai rawan, maka tetap dijadikan kawasan hutan. Masyarakat hanya bisa menempati saja,” tutur dia.(der)

spot_img

Berita Terkini

Arikel Terkait