MALANGVOICE – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada sebanyak 4.374 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan pada 2023. Dari data itu menunjukkan kasus terbanyak dialami dalam masalah rumah tangga.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriani, menyebut, jumlah laporan masih terbilang sedikit daripada kasus yang ada. Padahal Komnas Perempuan mencatat pada 2023 ada sekurangnya ada 409.975 kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Artinya ada sekitar 17 kasus terhadap kekerasa perempuan per hari,” kata Andy.
Meski didominasi kekerasan dalam rumah tangga, Komnas Perempuan juga mencatat ada tren baru dalam kasus kekerasan berbasis gender, yakni revenge porn.
Baca Juga: Jumlah DPT Pilkada 2024 Kota Batu Ditetapkan Sebesar 166.942 Pemilih
Kebutuhan KPPS di Kota Batu 2.114 Orang, Pendaftaran Berakhir 28 September
Andy mengatakan, kekerasan seksual di ruang digital itu banyak ditemukan menyebabkan trauma mendalam bagi korban.
“Itu banyak terjadi karena sebelumnya berpasangan, kemudian putus dan menyebarkan foto-foto pribadi ke media sosial,” jelasnya.
Hal itu pula yang menjadi pembahasan dalam Konferensi Internasional Pengetahuan dari Perempuan ke-4 bertajuk “Inovasi yang Inklusif untuk Pencegahan, Penanganan dan Pemulihan Korban Kekerasan berbasis Gender terhadap Perempuan” yang diselenggarakan pada 17-19 September 2024 di Malang.
Kegiatan yang diadakan atas kerja sama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dengan Universitas Brawijaya, Forum Pengada Layanan (FPL) dan Universitas Indonesia ini telah memperdengarkan 57 paparan pengetahuan terkait inovasi dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
Baca Juga: Sekjen Ombudsman RI Puji MPP Merdeka Kota Malang, Pj Iwan Sampaikan Terima Kasih
Kapolresta Malang Kota Pimpin Sertijab Kasat Reskrim dan Kasat Lantas
“Dalam aspek penanganan, kasus kekerasan seksual, termasuk yang terjadi di ruang digital, masih menghadapi kendala meski ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), utamanya dalam menemu kenali unsur pidana dan dukungan pemulihan bagi korban,” sambung Andy.
Buah percakapan dari Konferensi PdP IV mengidentifikasi perkembangan inovasi dalam aspek pencegahan, penanganan dan pemulihan korban. Inovasi dilakukan di ruang-ruang di mana kekerasan dapat diidentifikasikan, seperti di lembaga pendidikan baik di pesantren maupun perguruan tinggi, di ruang keluarga, praktik budaya, dan juga ruang digital.
Dalam aspek pencegahan, inovasi paling banyak ditemukan dalam bentuk penciptaan alat dan ruang memperkenalkan pengetahuan kritis dari pengalaman perempuan korban baik atas peristiwa kekerasan maupun kesulitan mengakses hak-haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Refleksi pada aspek inovasi pencegahan menegaskan bahwa efektivitas pencegahan bertaut erat dengan upaya penanganan kasus dan pemulihan korban.
Pada aspek penanganan kasus, inovasi teridentifikasi dalam mendekatkan korban pada layanan yang dibutuhkannya melalui organisasi maupun respons komunitas, pelibatan tokoh dan penggunaan media sosial. Pada aspek ini, tantangan-tantangan struktural dan kultural yang telah mengakar masih menjadi hambatan terbesar yang membutuhkan terobosan.
Sementara pada aspek pemulihan, inovasi yang diperbincangkan termasuk pengembangan platform pengaduan, termasuk penyediaan kanal pengaduan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi yang ramah disabilitas, pendampingan psikologis, penguatan kapasitas korban, afirmasi memastikan pelibatan korban dalam pengambilan keputusan, dan memanfaatkan ruang budaya yang memungkinkan korban saling menguatkan.
“Dari segi pemulihan itu yang paling berat. Sejak kasus dilaporkan sampai proses panjang karena meskipun pelaku dipidana tapi korban tidak langsung pulih. Karena itu butuh pendampingan berkelanjutan dilakukan,” tegasnya.
Lebih rinci rekomendasi yang diajukan pada masing-masing pemanggul tanggung jawab, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pihak legislatif, aparat penegak hukum, lembaga independen, universitas dan civitas akademika, praktisi, media massa, dan sektor privat akan menjadi tindak lanjut dari Konferensi ini.
Secara khusus, rekomendasi-rekomendasi ini akan menjadi pertimbangan dalam penajaman rencana kerja Komnas Perempuan 2025-2029.(der)