Kisruh Demokrat, Kemana Mahkamah Partai Politik?

Ferry Anggriawan, S.H., M.H.

+) Oleh: Ferry Anggriawan, S.H., M.H.

Beberapa judul berita di media sosial terkait kisruh Partai Demokrat seperti; “Sambil Menangis, Ketua Demokrat Jakarta Gelar Cap Jempol Darah Dukung AHY”, kemudian tangis-menangis tidak berhenti disitu; “Sambil Menangis, Darmizal Ngaku Nyesal Pernah Menangkan SBY Jadi Ketua Umum Partai Demokrat”. Dari dua judul berita di atas, opini politik lebih mendominasi perasaan pembaca, agar larut dalam tangisan mereka, berharap agar sependapat dengan kubu KLB versi Moeldoko atau sependapat dengan kubu Agus Harimurti Yudhoyono.

Opini hukum sengaja dijauhkan dari judul-judul setiap pemberitaan permasalahan ini. Padahal jika kita melihat hulu permasalahan setiap partai politik, tidak hanya bermuara dari ambisi setiap kadernya dalam berebut pos-pos penting kemudian melegalkan segala cara. Tetapi ada pembiaran aturan hukum internal partai seperti AD/ART yang sengaja diabaikan oleh beberapa oknum kader, serta Undang-Undang Partai Politik yang tidak memiliki daya, ditengah dahaga kekuasaan yang dipaksakan ketika ada kesempatan.

Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang menetapkan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai ketua umum, tidak bisa dilepaskan dari kecacatan hukum, yang menjadi fakta hukum dalam kongres tersebut. Salah satu fakta hukum yang sangat fatal adalah tidak adanya persetujuan dari Majelis Tinggi Partai, yang dimensi kedudukannya tidak hanya dilindungi dan diakui oleh AD/ART Partai Demokrat saja. Kedudukan Majelis Tinggi Partai juga diakui kedudukannya melalui Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang tentang Partai Politik.

Majelis Tinggi Partai adalah pengejewantahan dari maksud teks “Mahkamah Partai Poilitik” yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Partai Politik. Kedudukannya sangat sentral, terutama ketika terjadi konflik internal dalam Partai. Dimensi kekuatannya tidak hanya menjangkau seluruh permasalahan yang ada di Partai melalui AD/ARTnya, tetapi negara juga memberikan porsi power, jika suatu saat konflik internal partai tersebut dibawa ke Pengadilan Negeri hingga ke Mahkamah Agung.

Apa power negara yang diberikan kepada Majelis Tinggi Partai? Bahwa setiap sengeketa hukum internal partai yang akan dibawa ke Pengadilan Negeri, harus menunjukkan bukti hukum, bahwa sengketa hukum internal partai tersebut sudah diselesaikan secara internal terlebih dahulu, melalui Majelis Tinggi Partai. Jika hasil dari keputusan Majelis Tinggi Partai tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan penggugat, maka sengketa tersebut bisa dibawa ke Pengadilan Negeri.

Permasalahan yang terjadi adalah kisruh internal Partai Demokrat tidak diselesaikan melalui Majelis Tinggi Partai sebagai Mahkamah Partai Politik, dan juga tidak diselesaikan melalui Pengadilan Negeri. Langkah penyelesaian kisruhnya adalah melakukan KLB, keluar dari rule of law dengan melangkahi kedua sistem tersebut dan mengupayakan adanya pengesahan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Ini adalah perilaku yang oleh penulis sebut “mengakali sistem hukum”.

Mekanisme penyelesaian sengketa internal partai politik melalui “Mahkamah Partai Politik”, seharusnya diterapkan terlebih dahulu, agar setiap perkara internal Partai Politik bisa diselesaikan melalui akar dengan satu pohon yang sama, bukannya keluar dari akar permasalahan satu pohon tersebut, kemudian menanam bibit baru, ditanam disebelahnya dengan jenis pohon yang sama. Ini sama saja dengan membiarkan pohon yang asli dan memiliki nilai historis mati karena penyakit yang dibiarkannya, kemudian mencari pembenaran dengan pohon barunya yang lebih fresh tampilannya, yang sebenarnya ditanam melalui bibit-bibit eskapisme.

Hukum adalah celah, bagi orang-orang yang ingin mencari pembenaran atas dahaga politiknya. Dahaga politik itu akan terlihat legal jika ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan sebagai peluang untuk sampai pada oase kekuasaan yang diidamkannya. Terhitung 30 hari sejak hasil kongres itu diumumkan, Kementerian Hukum dan HAM harus mengambil tindakan hukum terhadap KLB tersebut dan juga harus memberikan respon berupa keputusan hukum kepada kubu Agus Harumurti Yudhoyono terkait KLB tersebut. Kita tunggu keputusan Kementrian Hukum dan HAM 24 hari mendatang!

Ferry Anggriawan, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang