Kerusuhan di Kanjuruhan Ingatkan dengan Tragedi Hillsborough

Suporter saat ricuh di Stadion Kanjuruhan. (deny rahmawan)

MALANGVOICE – Kerusuhan ketika pertandingan bergengsi Liga 1 antara Arema FC melawan Persib Bandung di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Minggu (15/4) kemarin menarik perharian semua pihak. Salah satunya Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), M. Salis Yuniardi.

Ricuh terjadi ketika gerombolan suporter tuan rumah masuk ke dalam lapangan pada menit 90+2.

Menurut Salis, aksi para suporter itu merupakan akumulasi kekecewaan terhadap Arema FC dan manajemen dan wasit saat memimpin pertandingan.

“Jika ditinjau dari aspek psikologis, itu sebenarnya adalah psikologi massa, dimana runtutanya adalah kekecewaan yang terakumulasi ketika dipicu sesuatu,” ungkap Salis.

Masuknya suporter ke dalam lapangan membuat petugas keamanan bertindak. Petugas menghalau agar massa tidak masuk ke dalam ruang ganti dan terpaksa meluncurkan gas air mata.

Dari aksi represif yang dilakukan pihak kepolisian ini, lanjut Salis, akhirnya banyak membuat Aremania memiadi korban. Jika semula yang terjadi adalah perilaku psikologi massa, ketika chaos terjadi maka upaya penyelamatan diri sendiri dilakukan oleh Aremania.

“Akibatnya banyak sporter yang mungkin karena sudah lemas terkena gas air mata menjadi terdorong sehinga semakin lemas dan pingsan,” ujar Salis.

Pakar psikologi UMM ini kemudian memberi contoh, bahwa pernah terjadi kejadian yang hampir mirip di Inggris. Kejadian tersebut adalah tragedi Hillsborough pada 15 April 1989 silam dimana pertandingan antara Liverpool FC melawan Nottingham Forest, dalam kejadian itu tercatat 96 orang suporter meninggal dunia karena saling berdesakan dan berebutan di dalam stadion karena kapasitasnya tidak mencukupi.

“Kejadian seperti di Liverpool itu harusnya menjadi pelajaran bersama,” papar Salis.

Karena itu, ia berharap kejadian tersebut tidak terulang lagi dan sama-sama berbenah diri, mulai suporter, stake holder dan pihak aparat terkait.

“Semua harus berbenah, belajar untuk menjadi dewasa, juga harus ada kajian observasi, langkah apa yang harus dilakukan sebelum melakukan tindakan represif, memang tugas petugas keamanan adalah menjaga keamanan, namun upaya represif kan tindakan terakhir yang dilakukan ketika semua pendekatan persuasif sudah tidak mempan lagi,” tegas Salis. (Der/Ery)