Kejayaan Apel di Kota Batu Sudah di Ujung Tanduk

Petani apel asal Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu menunjukan apelnya yang terkena mata ayam (Aan)

MALANGVOICE – Branding Kota Batu sebagai Kota Apel kali ini bagaikan fatamorgana belaka. Pasalnya sudah tiga tahun ini petani apel merugi tanpa solusi yang jelas.

Branding Kota Apel ini dirasa oleh petani apel di Kota Batu tidak sejalan dengan perhatian Pemkot Batu kepada mutu kualitas apel serta kesejahteraan petani apel. Bahkan menurut Petani dan Tengkulak Apel asal Desa Bulukerto, Kecamatan Bumjaji, Usman Hudi, kejayaan apel di Kota Batu hanya sampai tahun depan saja.

“Sudah tiga tahun ini kami mengalami kerugian dan tidak ada interfensi Pemkot Batu,” ujar Usman yang memiliki kebun apel seluas 5 hektare dengan sekitar 5000 pohon, Senin (18/01). Kerugian ini disebabkan penyakit pada buah apel bernama tutul mata ayam.

Penyakit ini dikatakan Usman berasal dari bakteri yang dibawa oleh lalat buah. Usman telah berusaha untuk mengentaskan penyakit ini namun tidak dapat menuai keberhasilan.

Usaha seperti memberi berbagai macam obat tidak membuahkan hasil. Menurut Usman, seluruh petani apel di Kota Batu mengalami prahara semacam ini dan mengalami kerugian besar-besaran.

“Semua apel saya kena penyakit itu sehingga buahnya tidak bisa dijual,” jelasnya. Usman mengatakan, setiap panen dirinya harus membuang 80 persen hasil panennya karena tak layak jual akibat penyakit tersebut.

“Jadi yang bisa dijual hanya 20 persen, itupun harganya cuma Rp 4 ribu sampai Rp 5 ribu per kilo,” keluhnya. Sebelum penyakit ini ada, Usman dapat menjual apelnya seharga Rp 7 ribu keatas.

Satu pohonnya, Usman membutuhkan modal sebesar Rp 90 ribu untuk biaya perawatan. Sedangkan keuntungan yang ia dapatkan di satu pohon hanya mencapai Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu.

Usaha yang dilakukan Usman agar tidak terlalu merugi ialah memproduksi kripik apel sebagai oleh-oleh khas Kota Batu. Namun karena pandemi ini penjualannya tidak seberapa membantu.

Dengan adanya penyakit ini dan kerugian yang dialami petani apel selam tiga tahun serta tidak ada perhatian dari Pemkot Batu, kejayaan apel di Kota Batu akan mengalami kepunahan.

“Dinas Pertanian (Dispertan) Kota Batu tidak pernah turun ke lapangan. Kita juga tidak pernah dibantu untuk mencari solusi. Jadi ya apel di Kota Batu akan mengalami kepunahan,” tegasnya.

Selain itu, petani apel dari tempat yang sama Abdul Muhammad Rokhim mengatakan dirinya sampai terlilit hutang hingga ratusan juta akibat selalu merugi tiga tahun belakangan.

“Kondisi apel di Kota Batu, ngguling, hancur terkena cuaca ekstrem dan harga pasar yang anjlok,” jelasnya. Biasanya dirinya dapat memanen 20 ton dari kebunnya yang seluas 2 hektare.

Namun saat ini ia mengatakan bahwa dapat memanen 2 ton saja sudah untung. “Untung seperempat saja sekarang sudah bagus,” kata dia.

Ia berpasrah dengan keadaan seperti ini karena hanya pekerjaan ini yang dapat ia lakukan. Abdul hanya bisa mengambil kesempatan untuk beralih untuk menanam jeruk.

“Namun jeruk itu panennya setahun hanya sekali, dan masa umur pohonnya singkat hanya delapan sampai sepuluh tahun,” katanya.

Sedangkan apel, menurutnya adalah pohon yang paling enak untuk dijagakan sebagai penghasilan utama. Usia yang lama sampai 25 tahun juga panen dua kali setahun menjadi keuntungan utama memiliki kebun apel.

“Tapi ya bagaimana, sudah tiga tahun ini kami mengalami kerugian. Jadi ya harus beralih ke jeruk. Kebun yang diatas ketinggian 1000 mdpl kami ganti apel semuanya,” tandasnya.(der)