Kondisi seusai Perundingan Renville, 1947, hampir tiga perempat daerah RI dikuasai oleh Belanda. Situasi saangat memprihatinkan karena adanya penghijrahan dan pengosongan daerah-daerah kantong sesduah RERA (Reorganisasi-Rasionalisasi), serta tekanan akibat blokade ekonomi Belanda. Keadaan seperti ini kemudian dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik dengan munculnya gerakan politik dan konsolidasi di daerah Gunung Kawi, bersamaan dengan keluarnya Tan Malaka dari penjara. Ia menggiatkan kembali gerakan politiknya dan mengadakan pertemuan-pertemuan, memformulasikan dan membentuk GPP (Gerakan Pembela Proklamasi).
Saat itu di Malang, Mayor Mochlas Rowie menjabat Komandan Daerah Gerilya III yang kemudian menjadi SWK III di Malang Selatan, satu-satunya daerah yang masih dikuasai RI di Karesidenan Malang dan meliputi Kawedanan Kepanjen, Kawedanan Turen, dan Kawedanan Pagak. Saat bergerilya, SWK III membawahi 2 sektor di wilayah perbatasan Kediri-Wlingi-Malang. Sektor I berkedudukan di Sumber Pucung dipimpin Kapten Nailun Hamam dan Sektor 2 bermarkas di Pagak dipimpin Lettu Abd. Munir.
Ketika Belanda masuk Yogyakarta, 19 Desember 1948 dan diumumkan bahwa Soekarno-Hatta ditangkap. Dengan alasan Presiden RI dan Wakil Presiden tidak ada, Tan Malaka menggunakan kesempatan ini untuk mendeklarasikan berdirinya GPP (Gerakan Pembela Proklamasi) di atas Gunung Kawi.
Pada Januari 1949, bertempat di Kalitapak, Kawi Selatan, diadakan pertemuan yang dihadiri oleh sebagian besar kaum politisi, beberapa kesatuan, dan utusan corps mahasiswa. Namun, beberapa dari mereka meninggalkan pertemuan dan mengundurkan diri, karena arah pertemuan telah dibelokkan pada kepentingan politik tertentu, banyak kalangan tidak setuju dengan langkah-langkah yang ditempuh Tan Malaka cs dengan pendirian Negara Demokrasi Indonesia-nya. “Kawi Pact” bertujuan mewujudkan cita-cita demokrasi ala Tan Malaka.
Dengan dalih tidak adanya Presiden RI dan wakilnya, ia memproklamasikan berdirinya Negara Demokrasi Indonesia sekalgus menunjuk dirinya sendiri sebagai presiden, mengangkat Kolonel Warrow sebagai Menteri Pertahanan dan Mayor Sabaruddin sebagai Panglima Besar GPP. Pembentukan “Kawi Pact” dimaksudkan untuk mengikat unsur-unsur dalam kesatuan GPP.
Beberapa kesatuan sempat terseret karena pengaruh yang intens dari Tan Malaka cs. Warrow sebenarnya adalah komandan brigade mobil yang ditugasi sebagai pasukan cadangan, tidak memiliki wilayah khusus tapi diperbantukan di wilayah Jawa Timur dan berkedudukan di tapal batas Malang-Kediri, Wlingi Utara di lereng Gunung Kawi. Seharusnya sebagai komandan, dia melapor keberadaannya kepada KMD Malang Letkol. dr. Soedjono, tapi tidak dilakukannya.
Sabaruddin ternyata mantan nara pidana dan petualang, pernah mendapat pendidikan dari Peta dan mengaku sebagai PM (Polisi Militer). Dia menangkap dan membunuh orang-orang yang tidak disukainya, seperti Shodancho Sidoarjo Budiarjo (Mantri Kabupaten dan mantan komandannya). Sebenarnya, sebelum itu banyak kegiatan kriminal dilakukannya sehingga dia ditangkap dan dipenjara di Kediri oleh Panglima Divisi Soengkono. Setelah direhabilitasi, Sabaruddin mempunyai pasukan mantan para narapidana yang juga telah direhabilitasi oleh Panglima Divisi Soengkono, tapi ternyata lebih banyak mengacau keamanan daripada ikut berjuang melawan Belanda. Ditunjuk menjadi panglima besar GPP oleh Tan Malaka, telah melunasi ambisinya akan kedudukan dan kekuasaan
Tuntutan Tan Malaka cs. antara lain adalah kekuasaan terhadap seluruh wilayah landai Gunung Kawi, wilayah Kediri, dan Malang. Letkol dr. Soedjono sebagai Komandan Brigade IV menolak keras tuntutan itu karena wilayah komando militer di Malang berada dalam tugas pengamanannya. Mochlas Rowie pun selaku Komandan SWK juga memperingatkan pasukan yang terseret Tan Malaka cs. untuk tetap tunduk kepada pimpinan KMD Malang dan tidak ada pemerintah lain selain Pemerintah RI. Sebagai pegangan, pemerintah militer RI tetaplah dibawah pimpinan Jendral Soedirman. (Bersambung) (Idur)