MALANGVOICE – Kegaduhan jelang Pemilu 2019 berpotensi ancam ketahanan sosial. Indonesia diambang perpecahan dua kutub akibat perbedaan pandangan politik tersebut.
Hal ini terungkap dalam gelaran Simposium Nasional Doktor dan Guru Besar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bertajuk “Ketahanan Sosial dan Demokrasi menuju 100 Tahun Indonesia” di Guest House Universitas Brawijaya (UB) Malang Jawa Timur.
Koordinator Organizing Committee Simposium Nasional KAHMI, Dr. M. Lukman Hakim mengatakan, bangsa Indonesia seolah terbelah, antara kutub 01 dan kutub 02. Keterbelahan itu tidak saja antarkelompok yang sescara sosial dan politik berbeda, melainkan juga terjadi di dalam kelompok yang sama.
Misalnya, keterbelahan di kalangan internal NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Partai Golkar. Partai Demokrat, PDI-Perjuangan, PAN, Partai Nasdem, dan lain-lain. Di lembaga-lembaga negara dan birokrasi juga terjadi keterbelahan-keterbelahan tersebut.
“Hal itu bisa menjadi sesuatu yang biasa sebagai dinamika dalam demokrasi,” kata Lukman.
Namun, lanjut dia, ketika hal itu menjadi pertentangan politik yang tajam dan kurang terkendali ditambahi fanatisme (agama, etnis, partai, dll) dapat menimbulkan kegaduhan bahkan konflik.
“Hal ini yang turut dibahas fenomena tersebut dalam simposium KAHMI,” sambung dia.
Sementara, lanjut dia, di bidang politik, problem-problem mendasar seperti demokrasi yang sedang mencari bentuk, amanat konstitusi yang belum ditransformasikan ke dalam kebijakan-kebijakan, parlemen yang belum sepenuhnya mewakili kepentingan rakyat, partai politik yang masih sibuk dengan urusan logistiknya sendiri, tingginya tingkat korupsi politik, pemilihan umum yang mahal namun belum mencapai tingkatan demokrasi substansial, pelayanan birokrasi yang tidak prima, dll. Problem-problem tersebut, menurutnya, tidak sepenuhnya harus menjadi tanggungjawab negera/pemerintah.
“Masyarakat memiliki peluang dan panggilan untuk ikut menyelesaikannya. Sebagai kumpulan kaum intelektual berpendidikan tinggi, KAHMI merasa turut bertanggung jawab memberikan sumbangan bagi upaya penyelesaian persoalan bangsa dan negara,” urainya.
“Keterbelahan sosial jadi kata kunci simposium kali ini. Hasilnya kami berharap jadi rekomendasi kepada pemerintah, terkait demokrasi dan kebangsaan. Prinsipnya kembali satu bangsa, mengingatkan kondisi saat ini terlalu mengkhawatirkan,” pungkasnya.
Sekadar informasi, Simposium Nasional KAHMI untuk bidang sosial dan politik kali ini mengahdirkan Keynote speaker Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (juga ahli politik pertahanan) Prof. Dr. Muhadjir Effendy. Pembicara lainnya adalah Prof. Siti Zuhro, Ph.D (ahli politik LIPI), Yudi Latif, Ph.D (pemikir agama dan kebangsaan juga anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Wawan Sobari, Ph.D (ilmuwan politik dan Dosen F ISIP UB), dan Prof. Eiman Anom, Ph.D (pakar media). Simposium juga menyajikan kelas-kelas panel untuk Spesifik empat subtema: Demokrasi dan Identitas Nasional, Civil Socety dan Ketahanan Sosial, Media dan Kebebasan Sipil, Kewirausahaan Sosial Politik dan Reformasi Birokrasi. (Der/Ulm)