Jelang Laga Final Euro 2020: Laga Para Aristokrat Bola

Yunan Syaifullah. (Istimewa)

Oleh: Yunan Syaifullah

BELENGGU dan kebekuan masa lalu seolah menjadi pemicu lahirnya generasi pemberontak. Generasi baru itu memiliki pengetahuan layaknya cendekia. Namun lebih dekat menjadi aristokrat.
Italia dan Inggris memiliki masa lalu yang menyakitkan. Keduanya pernah gagal lolos dalam Piala Dunia. Meski keduanya kiblat sepak bola dunia. Baik dari sisi sejarah maupun industrinya.

Kebekuan masa lalu memberikan pelajaran berharga bagi kedua Negara itu. Kegagalan masa lalu justru mampu melahirkan aristokrat baru di dunia bola.

Roberto Bagio, Paolo Maldini atau Andrea Pirlo adalah masa lalu. Sederet aristokrat bola Italia yang bisa disebut. Ataukah, David Beckham, Paul Gascoigne, Gary Lineker adalah aristokrat bola Inggris di masa lalu.

Aristokrat bola di masa lalu bermain bola dengan kejeniusan dan kecendekiaan yang dimiliki. Namun bukan sebagai pemberontak. Kalah menang bagi mereka dinilai akibat kurang jeniusnya bermain bola dari sisi pengetahuan dan lainnya.

Belenggu masa lalu yang menyakitkan itu terbukti mampu memadamkan daya nalar bola dibutuhkan daya dobrak pemikiran, untuk menggapai masa pencerahan (Aufklarung)
Aufklarung Bola membutuhkan intelektual pemberontak. Seorang intelektual, dirinya sekaligus cendikiawan senantiasa melakukan pemberontakan kepada kekuasaan, sebab keilmuan selalu berkembang dengan melakukan falsifikasi. Tidak jarang pemberontakan dalam dunia ilmu adalah refleksi dari pemberontakan atas kekuasaan, modal dan kebudayaan.

Seringkali, modal dan kebudayaan mengatur gerak ilmu pengetahuan untuk kepentingannya sendiri. Karena itu, ilmu pengatahuan seperti ilmu sosial tidak jarang menjadi rekayasa sosial untuk kepentingan capital, modal dan kebudayaan tertentu. Karena itu, pemberontakan dalam ilmu pengetahuaqn pada pemberontak pada kekuasaan, modal dan kebudayaan.

Dalam banyak hal, kekuasaan dan modal selaku memiliki ketakutan pada ilmuwan dan termasuk sastrawan. Keduanya tidak membunuh secara langsung pemegang otoritas kekuasaan, modal dan kebudayaan tetapi melalui kata dan kalimat yang keluar dari ilmuwan dan sastrawan bisa membunuh dan menganiaya para pemegang kuasa dan otoritas kekuasaan, modal dan kebudayaan.

Pada titik inilah, mengutip Dhakidae (2006) dalam Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia mengatakan bahwa hampir tidak ada yang lebih menakutkan modal, kekuasaan dan kebudayaan daripada kata dan kalimat yang itu keluar dari cendekia.

Intelektual, seringkali tidak menyebut dirinya sebagai cendekiawan. Hal ini memiliki alasan bahwa sebutan cendekiawan hanya diberikan oleh orang lain untuk orang lain lagi, dan bukan penamaan diri sendiri.

Seorang Hary Kane, Raheem Sterling, Luke Shaw, Giorgio Chiellini ataukah Federico Chiesa tak menyebut dirinya adalah intelektual bola. Bahkan cendekia bola. Tetapi dalam dirinya adalah aristokrat bola yang memiliki benih sebagai pemberontak.

Karena itu, lapangan hijau bagai buku cerita yang tak pernah habis untuk diceritakan kembali. Andai ditulis kembali cerita itu tak cukup satu, dua halaman.

Seperti halnya aritokrat bola lapangan hijau, tak pernah ada habisnya untuk diceritakan. Bahkan, selalu bisa berlanjut dengan berbagai episode dan sudut pandang. Mulai dari, sisi lain nama, wajah,, sikap dan lainya.

Sepak bola mampu menyebarkan benih keterbukaan, kepedulian dan rasa memiliki antar pelaku maupun penikmatnya. Kondisi hal ini, sedikit banyak mampu membentuk karakter social suatu masyarakat.

Tidak salah bila kemudian hari ada ungkapan, Italia dan Inggris adalah masa depan, dan akan selalu hidup di masa depan tentang sepak bola.
Derbi klasik memang diwarnai banyak kisah menarik. Menjadi rugi untuk tidak disimak. Tidak hanya semata soal bola yang dimainkan di lapangan. Namun juga masalah di luar lapangan yang tidak berhubungan langsung dengan bola mampu memberikan andil tentang dinamika pertandingan.

Ribuan bahkan jutaan mata yang tertuju satu titik: Stadion Wembley London. sebagai saksi sejarah untuk memastikan pemberontakan para aristokrat bola dalam perang masa depan bola di laga Final Euro 2020.

Bisa jadi perang para pemberontakan dari aristokrat bola disertai berbagai kecemasan dan ketakutan yang menghinggapi banyak kalangan berkaitan dengan masalah pinggir lapangan. Masalah friksi dan konflik antar pendukung karena faktor sejarah masa lalu.

Masa lalu menyembul dan menjadi “heroism” baru untuk menggugurkan trauma dan kebencian yang ditujukan pada dunia bola bagi bangsanya.
Parade nasionalisme dalam laga final Euro 2020 menjadi perhatian dan perbincangan menarik dari banyak kalangan. Tidak hanya pelaku dunia sepak bola namun juga banyak pihak saling terkait.
Terlebih, secara masif, pekikan nasionalisme dengan segala rentetan polemik sebelum laga final itu ditayangkan secara terus menerus melalui media sosial, seperti Instagram, Twitter dan Facebook.

Pekikan nasionalisme yang diproduksi secara terus menerus di berbagai kanal televisi dan media sosial, secara tidak langsung mempengaruhi persepsi dan memori para aristokrat bola untuk dipaksa membuktikan perang di lapangan hijau dengan penuh harga diri dan martabat. Baik itu dengan nalar kritisnya maupun skeptis.

Kendati perang di lapangan hijau itu memungkinkan lahirnya krisis di lapangan hijau. Karena itu, krisis apapun bentuknya membawa pelajaran penting dan menarik bagi pengembangan pemikiran dan keilmuan. Terlebih akibat krisis yang dibawa serta dalam hal impak maupun dampaknya.

Dalam sepak bola, gol adalah pintu juara. Gol pembuka itulah, akhirnya bisa menyingkap tabir kecemasan dan ketakutan diri pemain kedua kesebelasan.

Semua pihak berharap Final Euro 2020 benar-benar ditutup senyum dan bahagia kolektif melalui permainan para aristokrat bola secara terhormat.
Para aristokrat bola itu apakah juara secara terhormat ataukah kalah terhormat!

Ringkasnya, hasil akhir dari laga Final Euro 2020 adalah perubahan dan kemajuan yang berujung pada kesejahteraan di dunia sepak bola.
Sepak bola diakui selalu dipenuhi dengan teka-teki. Namun, siapa sebenarnya yang dapat merebut hati publik bola di seluruh wilayah dan negara? Jawabannya tidak lain adalah Negara yang memenangkan peperangan laga Final Euro 2020.
Sepak bola memang ada kalah dan menang. Ketika, mengalami kekalahan ataupun masa-masa sulit dan penuh tekanan, seperti yang terjadi akhir-akhir ini menjelang kepastian juara tidak perlu dijadikan alasan untuk tidak bergembira.

Kegembiraan itu memang membawa pikiran dan perasaan santai. Faktor ini yang menjadi bukti: prestasi.

Publik bola tentunya tidak ingin langit yang membiru ini berubah menjadi kelam. Publik bola telah berusaha sekuat mungkin menjaga langit itu tetap berwarna biru dengan caranya masing-masing. Karena, birunya harapan telah menyatu padu untuk satu keinginan dan harapan.

Yunan Syaifullah
Penikmat Bola, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang