Jangan Menunggu Godot untuk Perlindungan Toko/Pasar Tradisional di Kota Malang

Oleh: Soetopo Dewangga *

Penetrasi pasar melalui toko modern dengan segala cara secara massif di Kota Malang, secara perlahan namun pasti akan berdampak pada berhentinya operasional toko tradisional/UMKM tradisional.

Persaingan usaha yang cenderung tidak sehat ini sesungguhnya membutuhkan kehadiran pemerintah sebagai pengendali regulasi yang melindungi, memfasilitasi usaha toko tradisional untuk tumbuh dan berkembang sebagai aset ekonomi negara dan aset sosial budaya masyarakat.

Di era neo kapiltalisme saat ini, perilaku konsumen dan perilaku masyarakat pada umumnya bergeser dari nilai–nilai gotong royong ke sifat–sifat individualis, sehingga kehadiran toko modern dirasakan sebagai representasi semangat individualis yang makin melekat, akibat penetrasi sifat individulisme melalui berbagai cara. Begitulah cara kerja kapitalisme global menguasai dan menghisap semua potensi yang dimiliki oleh negara maupun oleh masing–masing pribadi.

Menunggu hadirnya negara yang akan melindungi dan memfasilitasi toko tradisional sebagai UMKM yang mampu tumbuh dan bersaing secara sehat serta dinamis bagaikan sebuah drama menunggu Godot, menunggu sesuatu yang tak berkepastian.

Drama Menunggu Godot atau ‘Waiting for Godot’ karya Samuel Beckett, sastrawan Irlandia yang besar di Prancis, senyatanya itulah yang dirasakan Vladimir dan Estragon, dua tokoh utama drama Menunggu Godot atau ‘Waiting for Godot’.

Godot yang mereka tunggu tak kunjung datang, entah berapa lama mereka melakukan penantian. Yang terang, keduanya tak lagi sanggup menengarai apakah telah menunggu seharian, seminggu, sebulan, setahun, atau bahkan berabad-abad. Kejenuhan tentu saja hinggap, sebab sepanjang penantian mereka nyaris tak beranjak dari tempat yang sama. Dalam penantian tak berujung itu, Vladimir dan Estragon terlibat banyak perbincangan, boleh jadi, itulah yang memberi mereka kekuatan untuk bertahan.

Godot hanya sebuah harapan, harapan dari menunggu yang telah begitu lama, Kita juga sudah begitu lama menanti keadilan, kita sudah lama menunggu Godot atau ‘Ratu Adil’ itu sepanjang tahun, kita hanya berdebad. Kita bicara ngalor-ngidul, bertengkar, saling jegal, saling meludah, saling bunuh, tetapi Godot atau Ratu Adil itu tak jua datang.

Godot atau ratu adil itu hanya harapan semu, sedangkan realitasnya kita hanya berputar-putar dalam ketidak menentuan, karena realitas politik kita tak pernah menyatakan menunggu. Politik kita bahkan tak memberikan kesempatan sedikitpun kata menunggu, jikalau bisa dilakukan sekarang, kenapa harus besok?

Inilah pragmatisme politik kita. Menunggu Godot, selalu dikaitkan dengan situasi absurd, memang tidak terlalu meleset, Godot menawarkan sesuatu yang serba kemungkinan, menunggu adalah gambaran situasi absurd itu sendiri, antara datang dan tidak, antara berubah atau tidak, menunggu datangnya negara yang mampu memfasilitasi UMKM toko tradisional dari penetrasi toko modern di Kota Malang sebagai persaingan usaha yang berkeadilan seolah menjadi sebuah relativitas yang tak habis diperdebatkan.

Ketika sejumlah regulasi yang mengatur tentang tata kelola toko modern dan perlindungan terhadap UMKM toko tradisional/pasar tradisional kita gambarkan sebagai Godot, mengapa operasional toko modern di kota malang yang patut diragukan alas haknya, zonasi yang mengatur jarak antar toko modern maupun antar toko / pasar tradisional secara kasat mata ditabrak, potensi Pemerintah Kota Malang kehilangan pemasukan PAD yang terukur dan transparan melalui toko modern cukup besar, dan yang pasti tinggal menghitung hari kematian UMKM toko tradisonal di Kota Malang, mengapa semua ini cenderung dibiarkan??

Kita seperti menghabiskan waktu itu sia-sia belaka, Godot bagaikan mesin politik ‘pembunuh’. Godot menjadi sebuah kendaraan untuk mencapai kekuasaan dengan segala cara, Orang-orang banyak mengibarkan bendera, partai-partai tumbuh seperti jamur, lembaga swadaya masyarakat banyak bermunculan, tetapi banyak suara rakyat yang terbungkam.

Langkah sederhaha dan paling mungkin kita lakukan adalah mari kita galakkan berbelanja pada UMKM toko tradisional, betapapun mungkin harganya lebih mahal, pelayanannya lebih buruk dan lain–lain hal yang tidak sebanding dengan toko modern, tetapi memberi untung pada UMKM toko tradisional jauh memberi manfaat sekurang kurangnya memperpanjang nafas kahidupan usahanya.

Toko modern di Kota Malang mayoritas adalah jejaring perdagangan yang bersifat frenchise, online yang terintegrasi sehingga ketika kita melakukan transaksi pada toko modern sesungguhnya kita sudah tidak lagi tahu di mana uang kita berada, termasuk pemilik tempat usaha bahkan negara sekalipun.
Ini adalah jaringan kapitalisme global yang secara perlahan akan mematikan sendi – sendi perekonomian kita, sama halnya dengan kongsi dagang VOC yang pada awalnya menguasai perdagangan lalu menjajah negara kita. Lalu apa bedanya antara VOC dengan Francise perdagangan toko modern? Ibarat penjual kecap botolnya saja yang beda, namun isinya tetap sama. Tetap saja sebuah penghisapan dari kaum kapitalis internasional pemilik modal menguasai dan menghisap kaum miskin negara berkembang.

Kita memang sedang menunggu Godot, tetapi seperti kita tahu, Godot tidak pernah hadir. Kita sebenarnya sudah dalam kondisi jenuh mengingatkan, menyuarakan, tetapi nasib UMKM toko tradisional di Kota Malang untuk memperoleh perlindungan dari Pemerintah tetap saja tak menentu.

Perubahan suhu politik, ketidak setabilan ekonomi, bencana alam, bisa saja datang sewaktu-waktu dan akan membuat kita semua ‘senewen.’ Menunggu memang bisa membuat orang panik dan kompensasinya suka marah. Maka jangan heran kalau kekerasan demi kekerasan terjadi dimana-mana.

Menunggu memang membahayakan, bagi jiwa yang labil. Perubahan yang kita nantikan sejak reformasi akan hadirnya kekuasaan yang sebanyak banyaknya memberikan perlindungan pada rakyat kecil telah kembali- membuat kita semakin pesimistis dengan para penguasa kita. Tak ada kata keadilan, yang ada hanya kebatilan, kita hanya disuguhi janji kosong. Barangkali benar, Godot atau Ratu Adil itu tidak ada. Itu hanya mitos yang diciptakan penguasa untuk meninabobokan rakyatnya. Karena itu, ‘Jangan Menunggu Godot!’. (bersambung)

*Soetopo Dewangga, Ketua Cabang Pemuda Demokrat Kota Malang.

spot_img

Berita Terkini

Arikel Terkait