“Wanita dijajah pria sejak dulu…” Begitu sepenggal syair lagu yang begitu populer di negeri ini. Lirik itu menyadarkan kita, betapa eksploitasi terhadap wanita telah berjalan sistemik, dari masa ke masa. Uniknya, eksploitasi itu muncul dalam beragam bentuk, yang terkadang tak disadari wanita itu sendiri.
Pada 137 tahun lalu, tepatnya 21 April 1879, di Jepara, Jawa Tengah, lahir bayi perempuan yang selanjutnya menjadi simbol perjuangan kesamaan derajat wanita atas pria. Dialah Raden Ajeng Kartini.
Karena kegigihannya, nama Kartini pun melegenda, dan menjadi simbol bagi perjuangan kaum perempuan, hingga saat ini. Bahkan sejarah telah mencatat kiprah dan perjuangannya yang sangat fundamental. Pikiran dan perjuangannya telah menjadi inspirasi bagi kaum wanita untuk maju dan berkembang dalam beremansipasi.
Seiring perkembangan zaman, kini spirit emansipasi yang diperjuangkan Kartini sudah bisa dirasakan. Saat ini banyak wanita hebat yang mampu menduduki jabatan penting di negeri ini, baik di kursi legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai disiplin. Kini, tak sedikit ilmuwan wanita yang mampu menciptakan hal-hal yang menakjubkan.
Di Tanah Air, banyak sosok wanita yang begitu berpengaruh pada kekuasaan, sebut saja Megawati, yang pernah menjadi presiden wanita pertama di Indonesia, Sri Mulyani Indrawati yang pernah menjadi menteri keuangan, dan saat ini menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Ada juga Ani Yudhoyono, Istri mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang hingga kini kiprahnya mampu menjadi inspirasi untuk perempuan Indonesia, serta Khofifah Indar Parawangsa yang merupakan sosok sederhana, tetapi memiliki pengaruh luar biasa, khususnya bagi kaum perempuan, dan masih banyak lagi.
Berbicara tentang perempuan pemegang kekuasaan maupun di lingkar kekuasaan, semua itu tak luput dari perjuangan Kartini yang dengan gigih memperjuangkan hak-hak mendapat pendidikan bagi kaumnya, dengan tidak meninggalkan kodratnya sebagai seorang istri dan ibu.
Dalam salah satu lembar surat Kartini yang ditujukan pada pemerintah Hindia Belanda, dia meminta agar nasib pribumi, terutama perempuan, diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Tertulis, perempuan adalah orang pertama yang membentuk budi pekerti anak. Berulang-ulang Kartini menyebutkan, “Perempuan adalah istri dan pendidik anak- anak yang pertama”.
Makna yang terkandung di dalam kalimat itu, setinggi apapun pangkat perempuan, sekuat apapun pengaruh wanita pada lingkungannya, tetaplah dia seorang istri, yang harus lebih mengutamakan keluarga.
Ada yang beranggapan, pemimpin wanita lebih mudah di diadu domba, kurang tegas dalam mengambil keputusan, memiliki tingkat emosi yang labil, serta beberapa kekurangan lainnya, tapi sesungguhnya wanita juga memilki insting dan naluri yang kuat untuk membuat sebuah kebijakan.
Saya juga yakin, wanita yang memegang kekuasaan, memiliki cara sendiri untuk mempertanggung jawabkan kebijakannya.
Sebagai Ketua DPD Perindo Kota Malang, saya memperlakukan anggota dengan merangkul seperti seorang ibu dalam keluarga, mendidik dan mengingatkan layaknya ibu. Bagi saya, tegas sebagai pimpinan tidak harus dengan bersuara lantang, atau memasang wajah murka. Saya juga percaya, Kartini sesungguhnya sosok yang anggun, lemah lembut, berkepribadian, dan keibuan, toh dengan segala kelembutannya, dia tetap mampu menjadi panutan, hingga saat ini.
Selain itu, perempuan merupakan cikal bakal pencetak generasi ke depan. Perempuan berpendidikan tinggi memang penting, tapi semua itu juga harus diimbangi dengan akhlak yang baik, dan jiwa social yang tinggi.
Karena, untuk menjadi sosok Kartini di era modern, tidak cukup memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, uang yang banyak, apalagi hanya kekuasaan semata, tapi dimulai dari menjadi Kartini untuk diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, serta orang lain. Dengan begitu kita akan mampu menunjukkan peran kita dalam mewujudkan emansipasi wanita di era modern. (Laily Fitriah Liza Min Nelly -Ketua DPD Perindo Kota Malang)