MALANGVOICE– Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Batu menuntut kelima terdakwa kasus penyaluran fiktif KUR mikro BRI Unit I Kota Batu dengan UU Pemberantasan Tipikor. Lantaran terdapat indikasi perbuatan melawan hukum untuk memperkaya atau menguntungkan orang lain.
Kelima terdakwa dijerat dengan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 juncto pasal 18 UU RI nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang UU Pemberantasan Tipikor serta pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Tuntutan JPU Kejari Batu disampaikan saat sidang perdana yang digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya beberapa waktu lalu. Penyaluran fiktif KUR mikro periode 2021-2023 di bank plat merah itu mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp4.066.481.674,00 berdasarkan laporan akuntan publik. Secara keseluruhan nilai KUR mikro sebesar Rp6.235.000.000 disalurkan kepada 110 debitur melalui Koperasi Omah Kita Bersama (OKB).
Kelima terdakwa berinisial JWP, seorang pegawai internal yang menjabat mantri BRI. Sementara empat terdakwa lainnya merupakan pihak eksternal, berinisial MHC, AS, NA dan AZ. Keempat terdakwa itu memainkan peran sebagai pihak ketiga yang menyalurkan KUR mikro melalui Koperasi OKB.
Ketua tim kuasa hukum, Wilhem Ranbalak menyampaikan nota keberatan atas dakwaan JPU kepada kliennya, JWP saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Surabaya dengan agenda pembacaan eksepsi, Selasa (3/6). Dalam eksepsinya, disebutkan cara-cara proses penegakan hukum terhadap terdakwa tidak sesuai dengan hukum acara pidana, melanggar asas legalitas, dan menyalahi prinsip-prinsip peradilan pidana yang adil dan imparsial.
“Mulai dari keterlambatan pemberitahuan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP), dakwaan yang obscuur libel, hingga audit kerugian negara yang tidak dilakukan oleh institusi negara yang sah, semuanya menunjukkan bahwa perkara ini disusun secara tergesa-gesa, prematur, dan tidak berdasarkan hukum yang benar,” ujar Wilhem.
Ia menegaskan, SPDP diterima setelah penetapan tersangka, tentunya hal tersebu bertentangan dengan pasal 109 KUHAP. Gugatan yang disusun JPU dinilai obscuur libel lantaran tidak jelas, tidak lengkap, dan kabur serta tidak adanya waktu dan tempat yang spesifik. Perihal tersebut tidak memenuhi pasal 143 ayat (2) KUHAP.
Persoalan lainnya menyangkut audit penghitungan dalam memastikan kerugian negara. Dalam itu, pihak kejaksaan tidak menggandeng lembaga negara seperti BPK ataupun BPKP untuk menghitung kerugian negara, melainkan audit swasta/akuntan publik. Sehingga munculnya angka kerugian negara dinilai tidak sah atau tidak ada dasar secara hukum. Lebih lanjut, dia meyakini jika JWP tak terbukti mendapat keuntungan pribadi dan tidak memenuhi unsur delik korupsi. Pengadilan Tipikor Surabaya juga tidak berwenang mengadili terdakwa JWP karema bukan termasuk penyelenggara negara.
“Sejumlah alasan tersebut menjadi alasan kami mengajukan eksepsi. Terdakwa hanyalah seorang bawahan yang menjalankan tugas secara prosedural, profesional sesuai tupoksi dan SOP yang ditetapkan oleh BRI maupun ketentuan perundang-undangan, tidak lebih dan tidak kurang dari hal tersebut,” ujar Wilhem.
Dalam pembacaan eksepsinya, Wilhem menguraikan kronologi singkat perkara. Penyaluran KUR dijalankan BRI Unit I Kota Batu sejak Juli 2021 lalu, bekerja sama koperasi dan agen BRILink. Dalam pelaksanaannya, pembentukan dan penunjukkan hingga modal awal Koperasi OKB sebagai agen BRILink dan agen UMI atas inisiatif dan peran Kepala Unit, Imam Wahyudi yang secara struktural adalah atasan langsung terdakwa.
Terdakwa JWP, saat itu kapasitasnya sebagai mantri yang baru ditempatkan di BRI Unit I Kota Batu sejak 1 Juli 2021. Ia hanya menjalankan fungsi teknis lapangan berupa penginputan data awal, validasi dokumen yang telah difilter oleh pihak koperasi, serta pendampingan administratif. Seluruh persetujuan dan pencairan kredit dilakukan melalui sistem dan prosedur yang dikendalikan oleh atasannya.
“Namun dalam proses penyidikan, tanggung jawab struktural Imam Wahyudi (saksi) justru diabaikan. Terdakwa ditetapkan sebagai tersangka secara sepihak tanpa klarifikasi internal, tanpa audit dari BPK atau BPKP, dan tanpa perlindungan terhadap hak konstitusionalnya sejak awal penyidikan,” ungkap Wilhem.
Ia mengatakan, terdakwa JWP hanya menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai SOP yang ditetapkan oleh pimpinannya. Dan tentunya mentaati ketentuan hukum yang berlaku, secara khusus terkait pencaira KUR maupun kredit konvensional / komersil pada bank negara itu.
“Yang sangat ironis adalah pertanggungjawaban pidana yang tidak mengikutsertakan Imam Wahyudi sebagai tersangka karena turut bertanggung jawab. Ini menunjukkan adanya standar ganda dalam penegakan hukum, serta mengancam prinsip keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law),” tukas dia.(der)