Gelisahnya Tahun Politik di Tengah Pusaran Pandemi

Oleh: Intan Galih Dwi Agustin

Tetap diselenggarakannya Pilkada serentak pada 9 Desember mendatang dirasa banyak pihak terlalu dipaksakan. Apabila Pilkada serentak tetap diberlangsungkan di tengah pandemi yang semakin memburuk ini maka akan berpotensi untuk menjadi klaster baru Covid-19 skala Nasional. Indonesia masih berada dalam 20 besar negara dengan kasus corona tertinggi di dunia. Alih-alih menanggulangi dan menekan penyebaran virus, negara justru memilih untuk melaksanakan agenda nasional 5 tahunan ini.

Yusuf Kalla juga menyampaikan bahwa sulit untuk mencegah perkumpulan orang yang hanya berjumlah 50, maka lebih bermanfaat bagi rakyat agar Pilkada ini ditunda terlebih dahulu. Berseberangan dengan pendapat mantan Wapres Indonesia tersebut, pembelaan untuk tetap dilakukannya Pilkada serentak muncul dari Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman. Beliau mengatakan bahwa Pilkada tidak akan ditunda demi menjaga hak konstitusi rakyat, yaitu hak memilih dan dipilih.

Jauh sebelum berbicara hak memilih dan dipilih, alangkah baiknya pemerintah fokus dalam menangani pandemi ini terlebih dahulu. Rakyat membutuhkan bantuan seperti bantuan bahan pokok maupun bantuan uang tunai. Selain itu, bantuan lain seperti pelatihan kepada masyarakat agar dapat mampu bertahan dan membuat inovasi baru dikala pandemi ini, dan melakukan berbagai evaluasi atas kebijakan yang sejauh ini terlihat tidak berjalan dengan baik. Bagaimanapun juga, berbicara tentang perut lebih afdhal daripada tetek bengek panjang lebar bicara mengenai kekuasaan yang entah nantinya akan berpihak kepada siapa.
Disisi lain, Ketua Komisi ll DPR RI, Ahmad Doli mengatakan bahwasanya Pilkada tetap dilaksanakan dengan memperhatikan protokol Covid-19. Diharapkan KPU dapat mengatur secara spesifik mengenai larangan pertemuan yang melibatkan massa dan diberlakukannya kampanye secara daring (online). Penggunaan hand sanitizer, masker, sabun, dan alat pelindung diri (APD) juga dapat menjadi media untuk kampanye bagi calon kepala daerah.

Permasalahannya adalah ketika penerapan protokol kesehatan dinilai belum maksimal ketika diterapkan. Banyak terjadi pelanggaran protokol kesehatan pada serangkaian kegiatan Pilkada. Terutama pada saat pendaftaran bakal calon pimpinan daerah di KPU masing-masing wilayah. Selain itu, pimpinan KPU Pusat beserta demisionernya juga terjangkit positif Covid-19. Kendati demikian, tak membuat lunak hati pemerintah dalam mengurungkan niatnya dalam melakukan Pilkada di akhir tahun ini.

Yang lebih janggal lagi adalah ketika salah satu institusi keamanan negara, Kepolisian Republik Indonesia tidak menyetujui untuk diberlangsungkannya kick-off Shopee Liga 1. Turnamen sepakbola kasta tertinggi ini tidak mendapatkan izin karena dikhawatirkan akan memperburuk kondisi negara dan menjadi klaster baru dalam penyebaran Covid-19. Meskipun pihak penyelenggara kompetisi telah mengajukan berbagai banding seperti tidak adanya suporter/pendukung klub yang hadir ke stadion pada saat pertandingan berlangsung. Akan tetapi, hingga tulisan ini dibuat Liga 1 tetap tidak mendapatkan izin sehingga berpotensi untuk diundur hingga tahun mendatang. Entah sampai kapan ~Lantas apakah yang membedakan Liga 1 dengan Pilkada serentak 2020? Yang jelas, kepentingan-lah yang berbicara. Kalau memang Liga 1 ditunda pelaksanaannya untuk kepentingan kesehatan masyarakat Indonesia, maka sebenarnya sah-sah saja cara berpikir yang demikian. Akan tetapi, tetap memaksakan pelaksanaan Pilkada serentak dengan mempertimbangkan alasan lain seperti mengatasnamakan hak konstitusi rakyat ini sudah lain ceritanya. Dan juga, rakyat mana yang berfikir demikian kalaupun harus dihadapkan dengan resiko kematian pada saat Pilkada berlangsung.

Aqil Siraj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mengatakan bahwa NU meminta kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada serentak pada tahun 2020 ini. Meskipun nantinya tetap menggunakan protokol kesehatan yang telah diperketat tetap dirasa sulit untuk terhindar dari bahaya Covid-19. Ditambah dengan jumlah banyaknya orang pada seluruh tahapan Pilkada juga menjadi pertimbangan tersendiri.

Muhammadiyah tak tinggal diam dalam mengkritisi kemauan pemerintah terkait Pilkada Serentak. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti memberikan usulan agar pelaksanaan Pilkada serentak 2020 ditunda dan ditinjau kembali. Terutama dengan jumlah pasien Covid-19 yang semakin meningkat angkanya di Indonesia. Urgensi kesehatan warga negara harus lebih diutamakan daripada proses pergantian kepemimpinan negara.

Belum lagi, kampanye online memang dirasa tidak akan efektif. Elektabilitas tidak akan naik dan dukungan tidak akan masif didapatkan. Bagaimanapun juga, kampanye tatap muka adalah cara paling efektif untuk dilakukan. Selain daripada tetap melaksanakan kampanye online sesuai anjuran KPU dan pemerintah, strategi yang dapat digunakan oleh calon pimpinan beserta tim pemenangan adalah dengan langsung mendatangi rumah-rumah warga.

Masalah akses internet juga menjadi perhatian apabila nantinya dilaksanakan kampanye secara online. Tak perlu jauh-jauh, di daerah dengan tingkat pembanguan tinggi seperti di Pulau Jawa sendiri pun bisa jadi sinyal terbilang susah dan sulit didapat. Nyatanya, hidup di era milenial seperti ini tak serta merta membuat rakyat terpenuhi kebutuhannya untuk dapat mendapatkan akses internet yang baik.

Selain daripada masalah terbatas akses internet di daerah-daerah tertentu, bahaya hoaks juga dapat menjadi ancaman selama kegiatan kampanye dilakukan. Dengan beralihnya kampanye dari metode tatap muka menuju ke ruang virtual maka rawan terjadi disinformasi dan juga hoaks yang berpotensi menyebabkan polarisasi pada masyarakat kita. Semisal pada e-iklan yang nantinya ditampilkan di berbagai media massa elektronik. Mengenai data penulis iklan dan siapa yang membiayainya tentu jadi aspek yang harus diperhatikan dan dibatasi. Belum lagi adanya akun buzzer yang semakin menjamur. Sinergisitas berbagai pihak diharapkan dapat menekan kasus kejahatan di media massa.

Dilihat dari apa yang ditulis di atas, diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Pergantian kepemimpian di tiap-tiap daerah memang perlu untuk dilakukan dan hal tersebut sudah jelas diatur dalam konstitusi negara. Akan tetapi, jauh lebih bijak apabila tidak memaksakan sesuatu yang memang belum memungkinkan untuk dilaksanakan. Karena, kesehatan dan nyawa masyarakat jauh lebih penting untuk menjamin keberlangsungan negara di masa mendatang.

*) Intan Galih Dwi Agustin
Mahasiswa Kebidanan Universitas Brawijaya

spot_img

Berita Terkini

Arikel Terkait