MALANGVOICE – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Raya, bersama tiga organisasi profesi wartawan Malang Raya yang diakui Dewan Pers, menggelar diskusi bertajuk ‘Perlindungan Diri Demi Tegakkan Profesionalisme Jurnalis’.
Diskusi yang melibatkan PWI Malang Raya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Makang Raya, dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Malang, tersebut juga melibatkan BPJS Ketenagakerjaan Malang.
Ketua PWI Malang Raya, Cahyono mengatakan, profesi wartawan perlu perlindungan diri, baik dari kecelakaan maupun kematian saat menjalankan tugas.
Karena itu PWI Malang Raya yang dalam diskusi bulanan ini sebagai tuan rumah menggandeng BPJS Ketenagakerjaan memberikan sosialisasi kepada para jurnalis yang memiliki mobilitas tinggi.
“Selama ini beberapa teman wartawan belum mendapat fasilitas perlindungan diri dari perusahaan media yang diikuti,” ucapnya, saat membuka farum diskusi di Rumah Makan Ocean Garden (OG), Jalan Trunojoyo No.3, Kota Malang, Kamis (20/1).
Untuk itu, lanjutnya, BPJS Ketenagakerjaan Malang akan memberikan penjelasan mekanisme perlindungan atau jaminan kematian dan kecelakaan wartawan.
Cahyono menjelaskan, jika para wartawan anggota empat organisasi profesi di Malang Raya ini ikut keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan, andai terkena musibah kecelakaan dapat dibiayai pengobatannya tanpa ada batasan.
“Jika BPJS Ketenagakerjaan bekerja sama dengan empat organisasi profesi wartawan (PWI, AJI, IJTI dan PFI), maka secara otomatis teman-teman bisa bekerja secara profesional,” jelasnya.
Tahap awal, lanjut Cahyono, khusus pengurus PWI Malang Raya, yang belum terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan di media akan dibiayai selama satu tahun.
“Tahap selanjutnya anggota PWI Malang Raya yang belum terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, baik mandiri atau dari perusahaan, maka PWI akan mengcover selama satu tahun,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua AJI Malang, Zainuddin mengatakan, sebenarnya berbicara soal jaminan keamanan dan sebagainya adalah tanggung jawab perusahaan.
Hanya saja dia tidak memungkiri, perusahaan cenderung kapitalistik.
‘Rata-rata perusahaan menginginkan keuntungan lebih banyak dan pengeluaran sedikit. Kontributor hanya dinilai dari karyanya,” katanya.
Sebab, lanjut Zainuddin, seorang kontributor tidak memiliki banyak kekuatan hukum untuk mendapatkan hak seperti karyawan tetap.
Terlebih jika jurnalis tersebut sebagai stringer, sehingga hanya sebatas transaksional. Ada karya disitulah dapat upah.
“Saya menganggap seperti dagangan. Seumpama layak dibeli, dibeli. Kalau tidak layak, tidak dibeli. Harus mendorong perusahaan untuk dapat memberikan upah layak kepada kontributor,” akunya.
Dalam diskusi tersebut, Kepala Kantor BPJS Ketenagakerjaan Malang, Imam Santoso mengakui kepatuhan perusahaan media sejauh ini masih minim.
Menurutnya, banyak perusahaan media itu belum mengikutsertakan karyawan, kontributor, atau wartawan dalam program BPJS Ketenagakerjaan.
“Untuk pelanggar itu tentunya kami akan melaksanakan prosedural agar pelaku usaha pemberi kerja itu patuh melaksanakan peraturan perundang-undangan untuk memberikan hak kepada pekerjanya,” jelasnya.
Dengan begitu, lanjut Imam, apabila ada pemberi kerja yang belum melaksanakan kewajiban program ketenagakerjaan kepada pegawai atau pekerjanya, ada sanksi yang melekat, sesuai dengan Undang-undang.
Sansksinya ada yang berupa kurungan badan, atau penggantian bayar denda atau istilahnya harus membayar nilai kurang lebih Rp1 miliar.
“Bagi teman-teman jurnalis ini BPJS ketenagakerjaan sangat penting, karena aktivitas di lapangan sangat rentan dengan risiko-risiko selama meliput peristiwa,” ujarnya.
Karena itu dia mengatakan pastinya sangat penting setiap pekerja jurnalis ikut dalam program ketenagakerjaan dari pemerintah ini.(end)