Dialektika Moral dan Hukum untuk Buruh Tani Pencuri Ponsel

Ferry Anggriawa S.H., M.H

Oleh: Ferry Anggriawa S.H., M.H

Gambaran umum yang terjadi di tengah forum diskusi hukum Indonesia, baik yang terjadi di forum akademik, hingga warung kopi, ketika seseorang terkena kasus hukum atau terbukti telah melakukan tindak pidana, hulu dari pembicaraan tersebut adalah yang bersangkutan terkena kasus hukum, karena melanggar salah satu Pasal atau lebih dari Undang-undang yang ada di Indonesia. Hilir dari pembicaraan selanjutnya adalah munculnya teori-teori hukum dari bebagai ahli hukum, untuk memperkuat analisa atas dasar hukum yang telah disebutkan. Disitulah mimbar dialektika hukum yang sering kita lihat dan kita rasakan.

Mimbar dialektika hukum tersebut akan berbeda ketika kita melihat kisah salah satu buruh tani di Garut yang mencuri ponsel tetangganya, demi anak supaya dapat belajar secara online, yang sudah 10 hari tidak mengikuti pelajaran sekolah, dikarenakan tidak mempunyai ponsel. Disini bukan lagi membicarakan apakah perbuatan bapak tersebut termasuk tindak pidana pencurian yang direncakan atau tidak terencana, tetapi kita diajak berselancar secara epistimologis kenapa bapak itu mencuri? Dan secara aksiologis bagaimana hukum hadir ditengah realitas kasus pencurian yang dilatar belakangi ketidakberdayaan seorang secara ekonomi, kemudian terpaksa mencuri, karena harus bertanggungjawab terhadap pendidikan anaknya!

Jika kita melihat pencurian tersebut dari sudut pandang KUHP dan KUHAP, maka sudah jelas, bapak ini harus diproses melalui fakta-fakta hukum yang bersifat meteriil dan hukum acara pidana. Tetapi penulis menemukan sesuatu yang berbeda dalam kasus ini, korban yang kehilangan ponsel mencabut laporan pencurian dan hadirnya Kejaksaan Negeri Garut bukan untuk menelusuri kasus ini, tetapi untuk memberikan Ponsel kepada yang bersangkutan. Ini adalah fakta bahwa hukum hadir bukan hanya untuk menghukum seseorang, tetapi hukum bisa hadir untuk memberikan solusi atas realita yang dihadapi masyarakat di era pandemi covid 19 dengan rasa yang berbeda.

Hukum merupakan otoritas besar dengan tujuan menata kehidupan bermasyarakat yang tidak dapat diabaikan. Disinilah sering terjadi persinggungan bahkan konflik antara the legal and the social. Supremasi hukum harus ditegakkan tetapi tidak jarang penegakan hukum tersebut jauh dari realita yang diharapkan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa the legal and the social memiliki optik yang berbeda tetapi objek kajian yang sama yaitu kehidupan bermasyarakat. Gagasan berhukum harus berelaborasi dengan berfikir hukum secara sosial, karena hukum tidak bisa dipisahkan dengan realita sosial yang terjadi di masyarakat.

Hukum adalah seni berinterpretasi, ditulisan ini penulis mencoba menginterpretasi kasus hukum bukan dengan hukum tertulis, tetapi dengan nilai dan moral yang sudah diaktualisasikan baik oleh korban maupun aparat hukum yang diwakili oleh Kejaksaan Negeri Garut. Tujuan supremasi hukum bukan hanya berjalannya peraturan hukum yang sudah ada kemudian diterapkan, lebih dari itu tujuan supremasi hukum adalah kemanfaatan yang memiliki dampak positif lebih besar akan keberadaan hukum itu sendiri.

*) Ferry Anggriawa S.H., M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang