MALANGVOICE – Awal September 1945, situasi di Jawa Timur cukup bergelora. Berbagai insiden terjadi dan seluruh rakyat siap siaga menunggu segala kemungkinan yang terjadi. Pasukan Sekutu mulai merambah Jawa Timur, terutama melalui Tanjung Perak untuk menyerbu Surabaya. Kondisi semakin memanas ketika rakyat dan BKR setempat bereaksi karena ternyata pasukan Sekutu bersekongkol dengan interniran Belanda.
Di wilayah lain di Jawa Timur, beberapa BKR seperti BKR Malang dan Madiun sudah menguasai beberara perbentengan (yinci-yinci) di daerah pegunungan Malang dan Madiun. Residen-residen (syucookang) yang ada terdiri dari pensiunan perwira tinggi Jepang, kecuali Bojonegoro dengan Residen Suryo dan Karesidenan Malang dengan Residen Mr. Singgih. Namun beberapa hari setelah kemerdekaan Mr. Singgih hilang secara misterius. Situasi pengambilalihan pemerintahan daerah menjadi terganggu karena yang menggantikan beliau adalah wakil orang Jepang.
Pertempuran hebat 10 November 1945 sebenarnya adalah rangkain dari peristiwa yang berawal di hari kedua kedatangan Brigade 49 Divisi India Ke-23 Tentara Sekutu (AFNEI) yang mendarat di Surabaya 25 Oktober 1945 dan dipimpin Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Pemerintah dan rakyat Indonesia menyambut dengan tangan terbuka. Namun, 27 Oktober 1945 mereka menyerbu penjara untuk membebaskan para perwira Sekutu dan pegawai RAPWI (Relief of Allied Prisoners of War and Interness) yang ditawan oleh pasukan RI. Akibatnya pos-pos Sekutu di Surabaya diserang oleh rakyat prabaya. Pemimpin-pemimpin Indonesia memerintahkan gencatan senjata, tapi pihak Sekutu ternyata tidak menghormati gencatan senjata, hingga Brigadir Jenderal Mallaby tewas dalam insiden yang belum terungkap jelas.
Sehari sebelumnya, 9 November 1945, tanpa berunding dulu dengan pemimpin Indonesia, pimpinan tentara Sekutu di Surabaya mengeluarkan ultimatum, padahal sudah terjadi kesepakatan yang membuahkan Contact Comitte Panitia Penghubung antara Sekutu dan Pemerintah RI. Pihak Sekutu mengultimatum dengan perintah agar pimpinan dan rakyat yang bersenjata harus melapor, menyerahkan senjata dan mengangkat tangan di atas kepala, dengan batas waktu sampai pukul 06.00 WIB tanggal 10 November 1945.
Rakyat melawan, pecahlah pertempuran Kota Surabaya. Paasukan sekutu berkekuatan hampir sepuluh hingga lima belas ribu orang, lebih dari satu divisi invantri, Divisi India ke-5 dan sisa Brigade Mallaby. Mereka didukung oleh meriam-meriam kapal penjelajah Sussex, kapal perusak, dan pesawat-pesawat Mosquito dan Thunderbold. RAF (Angkatan Udara Inggris). Pertempuran tidak seimbang ini ternyata berlangsung hingga awal Desember 1945.
Dalam pertempuran dahsyat ini, telibat pula bantuan pasukan dari semua penjuru tanah air, khususnya pasukan-pasukan dari Jawa Timur. Dari wilayah Karesidenan Malang, Probolinggo, Bondowoso, Pasuruan, Lumajang dan Malang bergantian diberangkatakan secara bergelombang. Pasukan yang telah cukup lama di garis depan kembali ke markas-markas komando untuk digantikan yang lain. Mereka kembali dan berbagi pengalaman untuk membangkitkan semangat perjuangan.
Resimen 38 Malang Kompi Sochifudin adalah kompi pertama yang diberangkatkan ke front pertempuran Surabaya dan Kompi Untung dari Resimen Bondowoso. Dari Probolinggo Kompi Oesadi yang merupakan pasukan inti mantan Heiho dan Peta. Dalam pertempuran Surabaya kompi ini kehilangan komandannya. Gelombang selanjutnya, arek-arek Probolinggo diberangkatkan ke front Surabaya, yang terdiri dari BKR dan lascar-laskar yang berasak dari BPRI, Pesindo, Hisbullah, Sabilillah, dan lain-lain serta kumpulan pemuda yang tergabung dalam satuan bersenjata. Pasukan Lumajang yang ikut bertempur di front Surabaya tidak hanya dari BKR_TKR saja tetapi juga melibatkan badan-badan perjuangan dan kelaskaran yang ada.
Selanjutnya dari Malang, pasukan Kompi III Batalyon III dipimpin Mayor drh. Soewondho dan komandan kompi Kapten Mohamad Bakri. Telah gugur dan hilang beberapa prajuritnya di daerah Ngagel termasuk komandan peleton Letnan Juari yang kemudian digantikan Letda Imam Soepardi dan berkonsolidasi di Kecamatan Porong dan bertugas di daerah pertahanan pantai di Bangil.
Di Malang pun, secara spontan dibentuk pasukan-pasukan Polri untuk ikut bertempur di Surabaya dan banyak pelajar-pelajar SMTP dan SMTA ikut menggabungkan diri. Mereka ikut bertempur mati-matian, kemudian bernaung di bawah Kompol II Moh. Yasin, serta mundur dan membuat benteng pertahanan di daerah Buduran dan Krian.
Panglima Divisi Untung Suropati, Mayjen Imam Soedjai menghimpun dan membawa serta Alim Ulama Karesidenan Malang ke front Surabaya dan membuahkan dampak psikologis yang memperkuat semangat perjuangan.
Di front pertempuran dahsyat Surabaya, gugur beribu-ribu pejuang RI sebagai pahlawan bangsa, di antaranya tidak dikenal jati dirinya dan dikebumikan sebagai pahlawan tak dikenal. (idur)