MALANGVOICE – Dewan Pers mendorong aparat Kepolisian menyusun standard operating procedure (SOP) menghadapi jurnalis di lapangan saat aksi unjukrasa. Tujuannya untuk mencegah aksi kekerasan, dan intimidasi terhadap jurnalis.
Ketua Komisi Hukum dan Perundangan-undangan Dewan Pers, Agung Dharmajaya mengatakan, lantaran jurnalis rentan dan berpotensi menjadi korban kekerasan saat liputan unjuk rasa. Maka, sangat penting adanya SOP khusus untuk jurnalis.
“Jurnalis menjalankan kerja jurnalistik, tak bisa dengan pendekatan SOP penaganan unjukrasa,” katanya pada diskusi yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang di Oase Cafe, Selasa malam (27/10).
SOP, lanjut dia, bisa disusun bersama antara organisasi pers dengan aparat kepolisian setempat. Organisasi pers dan kepolisian diminta untuk duduk bersama menyusun SOP tersebut. Bahkan, Dewan Pers bersedia berkontribusi untuk memberi masukan dalam menyusun SOP tersebut.
Bentuk kekerasan yang berpotensi terjadi kepada jurnalis antara lain kekerasan fisik, kekerasan verbal, penghapusan rekaman foto atau video, tekanan psokologi, dan doxing.
Jurnalis, kata Agung, bekerja mewakili publik dan dilindungi Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Barang siapa yang menghalangi kerja jurnalistik diancam hukuman pidana paling lama dua tahun dan denda maksimal Rp 500 juta.
Dalam aksi unjuk rasa Omnibus Law di Malang, Kamis 8 Oktober 2020 sebanyak 15 jurnalis mengalami kekerasan. Seorang mengalami kekerasan fisik, selebihnya mengalami kekerasan secara verbal, intimidasi, dan penghapusan foto. Menyikapi persoalan tersebut, Agung menjelaskan jurnalis yang menjadi korban bisa melaporkan kekerasan yang dialami ke Divisi Profesi dan Keamanan di Kepolisian.
“Dilengkapi dengan alat bukti yang cukup. Termasuk saksi,” katanya.
Pedoman Penanganan Kekerasan terhadap wartawan, laporan merupakan hak korban. Namun, ia juga menghormati jika korban tak bersedia melaporkan perkara tersebut. Apalagi kejadian berlangsung 20 hari, yang sulit untuk menunjukkan alat bukti seperti hasil visum atas luka yang dialami korban.
Ia menambahkan, perusahaan pers tempat korban bekerja juga harus mendukung dan memberi bantuan, termasuk bantuan hukum jika dibutuhkan. Selain itu, jurnalis juga harus menguasai keterampilan saat liputan aksi unjukrasa. Agar tetap bisa mendapat gambar eksklusif di posisi aman dan terlindung.
“Tak ada berita seharga nyawa,” kata Agung.
Sementara itu, Ketua AJI Malang Mohammad Zainudin berharap tak terulang kejadian serupa. Jurnalis yang meliput aksi unjukrasa harus mempertimbangkan faktor keamanan dan keselamatan diri. Dalam menjalankan kerja jurnalistiknya, jurnalis juga diminta berpegang Undang-Undang Pers dan kode etik.
“Keamanan dan keselamatan nomor satu,” ujarnya.
Zainudin menyerukan jurnalis untuk bersikap dan mempertahankan karya jurnalistiknya. Jika ada pihak yang mencoba menghapus foto atau video. Sebab, jurnalis mewakili publik dalam memberikan hak atas informasi. Sesuai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
AJI Malang turut mengundang Kepala Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang Kota Komisaris Besar Polisi Leonardus Harapantua Simarmata Permata. Namun, tak bersedia hadir.(der)