Desa Wisata Edelweiss Konservasi Penuh Edukasi dari Tosari

Konservasi Desa Wisata Edelweiss yang menyuguhkan panorama eksotis. (Mvoice/ig:hulun_hyang)

MALANGVOICE – Gunung Bromo memang terkenal dengan panorama yang mendunia. Ribuan pasang mata berburu matahari terbit, upacara Kesada suku Tengger, kepulan asap kawah Bromo, pasir berbisik, dan aneka spot wisata yang bertebaran. Di antara sekian banyak pesona Bromo, masih ada satu lagi destinasi wisata yang tak boleh dilewatkan.

Desa Wisata Edelweiss namanya. Tempatnya masuk wilayah Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Di desa ini, selain menyuguhkan pemandangan eksotik, kelompok tani (Poktan) Hulun Hyang siap mengedukasi pengunjung tentang edelweiss.

Mereka tidak sekadar cerita filosofis edelweiss bagi masyarakat Tengger, namun menuntun pengunjung cara menanam bibit di polybag, kemudian dipindah ke media tanah saat usia beberapa bulan, kemudian merawat tanaman dalam pertumbuhan hingga akhirnya panen bunga edelweiss.

“Seperti kita mendidik anak, rawatlah edelweiss dengan penuh kasih sayang. Ajak bicara ketika menyirami atau memberi pupuk dengan lemah lembut supaya tumbuh dengan baik seperti yang kita inginkan,” kata Ketua Poktan Hulun Hyang, Teguh Wibowo.

Bagi masyarakat Tengger, edelweiss memang menjadi sajian utama saat upacara adat penuh kesakralan karena tumbuhan yang hanya bisa tumbuh di gunung dengan ketinggian rata-rata 2.000 di atas permukaan laut ini juga menjadi lambang cinta sejati.

Di Bromo yang masuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), terdapat tidak jenis edelweiss, yakni anaphalis javanica, anaphalis visida, anaphalis longifolia.

Sementara di dunia masih ada dua jenis edelweiss lain yang terkenal. Leontopodium Alpinum yang hanya tumbuh di pegunungan Alpen (Eropa) dan Leucogenes Grandiceps atau dikenal dengan edelweiss New Zealand.

Edelweiss lambang cinta abadi yang digandrungi kaum muda. (Mvoice/ig:hulun_hyang)

Uniknya jenis anaphalis javanica hanya ada di Bromo. Dengan jenis daun yang berbeda dibanding dua edelweiss lain, masyarakat Tengger berani mengklaim anapahalis javanica sebagai satu-satunya di Indonesia. Dua jenis edelweiss lain, anaphalis visida dan anaphalis longivolia bertebaran di gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa khususnya.

Meski bunga edelweiss hidup abadi, antara 5-10 tahun, tanpa perlu disiram air, jangan sekali-kali memetiknya dan dibawa pulang.

Pemerintah mengeluarkan peraturan larangan memetik edelweiss melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 pasal 33 ayat 1 dan 2 tentang Konservasi Sumber daya Hayati Ekosistem. Bahkan, bagi yang memetik bunga edelweiss dapat dikenai hukuman penjara atau denda.

Jika terbukti memetik edelweiss dikenakan hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

Adapun isi pasal tersebut berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan hal yang tak sesuai sesuai dengan fungsi pemanfaatan zona dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam“.

Teguh Wibowo menyebut ada beberapa alasan yang mendasari larangan memetik edelweiss. Salah satunya karena bunga ini ada di kawasan konservasi yang intinya segala sesuatu baik hewan maupun tumbuhan di kawasan konservasi dilindungi secara undang-undang.

Hanya saja UU tentang konservasi itu tidak berlaku di Desa Wisata Edelweiss karena Poktan Hulun Hyang memiliki izin budidaya edelweiss dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Dengan kata lain, masyarakat yang ingin memiliki edelweiss sebaiknya berhubungan dengan Poktan Hulung Hyang, karena para petani asli warga Tengger ini memiliki izin resmi dari pemerintah.

Pemandangan Desa Wisata Edelweiss dari atas dengan latar belakang pinus. (Mvoice/ig:hulun_hyang)

Bagi warga Tengger sendiri bisa mendapatkan gratis edelweiss ini karena memang untuk kepentingan upacara keagamaan, sementara untuk pengunjung yang ingin memiliki dan dibawa pulang , Poktan Hulung Hyang mematok Rp20 ribu hingga Rp50 ribu.

Berada di lahan seluas 1.196 m2, sekitar Taman Edelweiss ini memiliki spot-spot yang eksotis untuk menjadi tempat berfoto.

Lereng hutan pinus serta kabut yang silih berganti datang menyamankan suasana hati akibat kabut polusi knalpot atau pabrik di tengah kota sambil menikmati segelas kopi, wedang jahe, mie instan plus kudapan di kafe sederhana.

Selain kursi-kursi yang ditata mepet dengan lereng berkabut, pengunjung bisa bersantai di lantai dengan model tribun. Dengan empat trap memanjang, sepanjang mata memandang dimanjakan kesejukan udara Bromo.

Desa Wisata Edelweiss menyediakan banyak spot foto. (Mvoice/ig:hulun_hyang)

Hanya saja untuk bulan-bulan ini pengunjung belum sepenuhnya bisa menikmati mekarnya edelweiss karena masih dalam proses pertumbuhan. Di beberapa tempat, tiga jenis tumbuhan edelweiss baru sebagian yang menunjukkan pucuk-pucuk kembangnya.

Kata Teguh, tiket masuk ke areal ini hanya Rp10 ribu termasuk welcome drink, sedangkan bagi yang ingin mendapat pengetahuan tentang edelweiss, dikenakan tiket Rp25 ribu.

“Kami memiliki 30 petani anggota Hulun Hyang yang bisa menjelaskan secara detil tentang edelweiss kepada pengunjung. Bahkan kami siap membantu pengunjung yang ingin menitipkan tumbuhan edelweiss dan diambil saat berkembang,” jelasnya seraya menambahkan sampai Oktober 2021, tercatat 3.319 pengunjung Desa Wisata Edelweiss ini.

Untuk menuju Desa Wisata Edelweiss cukup mudah karena akses jalan beraspal mulus hingga tempat parkir. Hanya sekitar 50 meter dari tempat parkir, pengunjung naik trap dan sampailah di taman edelweiss.(end)