MALANGVOICE- Praktisi hukum, termasuk Dekan FH Unisma, Dr. Arfan Kaimuddin, menegaskan RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP perlu direvisi. Hal itu dimaksud agar dapat diminimalisir dan sistem peradilan pidana dapat berjalan lebih efektif tidak tumpang tindih kewenangan.
Pernyataan itu disampaikan Arfan saat menjadi narasumber di Seminar Nasional bertajuk “Dilema Tumpang Tindih Kewenangan Polisi dan Jaksa: Urgensi Revisi Rancangan KUHAP dan Rancangan UU Kejaksaan dalam Bingkai Sistem Peradilan Pidana” yang digelar Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (FH Unisma), Kamis (13/2).
Seminar Nasional yang berlangsung di Gedung Abdul Rachman Wahid Lantai 7 Unisma ini turut menghadirkan berbagai akademisi dan praktisi hukum seperti Guru Besar FH UB Prof Dr I Nyoman Nurjaya SH,MS, Wakil rector III Unisma Dr Moh Yunus MPd, Wakil Ketua Umum Peradi Dr H. Salih Mangara Sitompul SH, MH yang memberikan pandangan kritis terkait ketidakseimbangan kewenangan antara Kepolisian dan Kejaksaan.
Dalam paparannya, Dr Arfan Kaimuddin menekankan perubahan regulasi hukum harus selalu menyesuaikan dengan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
“Hal ini tercermin dalam evolusi hukum acara pidana, mulai dari Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hingga Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini tengah menjadi perbincangan hangat dan menuai pro serta kontra,” ungkap Dr Arfan.
Dr Arfan menjabarkan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) pada dasarnya merupakan proses penegakan hukum pidana yang sangat erat kaitannya dengan perundang-undangan yang berlaku.
“Criminal Justice System adalah mekanisme penanggulangan kejahatan yang harus diterapkan dengan pendekatan sistematis,” tegasnya.
Mengutip pendapat Marjono, Dr Arfan menjelaskan Criminal Justice System merupakan sistem pengendalian kejahatan yang melibatkan empat institusi utama, yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.
“Namun, dalam praktiknya, ketidakterpaduan antar-institusi sering kali menghambat efektivitas sistem peradilan pidana,” ucapnya.
Menurutnya, ketidakterpaduan dalam Criminal Justice System berdampak pada beberapa aspek krusial, antara lain adanya kesulitan dalam menilai keberhasilan atau kegagalan setiap institusi, yang kedua adanya hambatan dalam menyelesaikan permasalahan fundamental di masing-masing lembaga.
Menurut Dr Arfan tiga pendekatan utama dalam Criminal Justice System memerlukan adanya pendekatan normatife, hal ini menempatkan aparatur penegak hukum dari keempat institusi (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum sebagai pelaksana perundang-undangan.
Sementara pendekatan Administratif, Dr Arfan mengatakan memandang aparatur penegak hukum sebagai organisasi dengan mekanisme kerja yang terstruktur secara horizontal maupun vertikal sesuai dengan sistem administrasi yang berlaku.
Pendekatan Sosial dengan menempatkan aparatur penegak hukum dalam sistem sosial yang melibatkan peran serta masyarakat dalam keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas penegakan hukum.
“Ketiga pendekatan ini, menurutnya, tidak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi dan harus diterapkan secara bersamaan dalam pembenahan sistem peradilan pidana di Indonesia,” jelasnya.
Sebagai penutup, ia menegaskan Integrated Criminal Justice System harus menjadi solusi utama dalam mengatasi permasalahan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Sinkronisasi dalam sistem ini harus diterapkan dalam tiga aspek utama, Sinkronisasi Struktural, Sinkronisasi Substantial, Sinkronisasi Kultural sebagai wujud keselarasan vertikal dan horizontal dalam peraturan hukum positif dan menguatkan pemahaman dan kesadaran hukum di kalangan masyarakat serta aparatur penegak hukum sendiri.
Dengan demikian, urgensi revisi Rancangan KUHAP dan RUU Kejaksaan harus segera menjadi perhatian pemerintah dan para pemangku kepentingan agar sistem peradilan pidana di Indonesia dapat berjalan lebih efektif, terintegrasi, dan tidak lagi mengalami tumpang tindih kewenangan antar-institusi hukum.(der)