BPBD Waspadai Bencana Hidrologis Akibat Kemarau

ilustrasi kekeringan (Istimewa)

MALANGVOICE – Bencana yang kerap muncul saat musim kemarau umumnya kebakaran dan kekeringan. Namun, ada bencana lain yang mengancam dan ini yang diwaspadai BPBD Kota Malang, yakni bencana hidrologis.

Analis Bencana BPBD Kota Malang, Mahfuzi mengatakan kekeringan merupakan salah satu bencana yang ditunjukkan dengan berkurangnya ketersediaan air terhadap kebutuhan. Udara yang kering, prosentase kelembaban rendah dan tiupan angin yang kencang akan menambah laju evaporasi atau penguapan. Itulah mengapa kekeringan ditandai turunnya volume sumber air maupun tampungannya seperti sungai, danau atau kolam.

“Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi secara perlahan, berlangsung lama sampai musim hujan tiba, berdampak sangat luas dan bersifat lintas sektoral seperti ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan lainnya,” kata Mahfuzi melalui keterangan tertulisnya, Senin (8/7).

Mahfuzi menerangkan, dalam ilmu hidrologi dikenal dua macam kekeringan, yakni kekeringan meteorologis dan kekeringan hidrologis.

“Jika hujan jarang turun, radiasi matahari meningkat disertai suhu udara meningkat maka terjadi kekeringan meterologi. Akibatnya kelembaban tanah menurun, kering dan retak-retak,” urainya.

Namun jika kekeringan meterologi berlanjut lebih lama, maka hilangnya air dari tanah akan merembet pada kekeringan hidrologis yang umum dicirikan dengan menurunnya elevasi muka air di kolam, danau, sungai bahkan air tanah (groundwater).

“Simpelnya gini, jika sumur di rumah kita turun airnya (saat kemarau) maka terjadi kekeringan hidrologis,” ujar alumnus Magister Sipil Hidro Universitas Brawijaya (UB) ini.

Sementara itu BMKG Klimatologi Karangploso memperkirakan puncak musim kemarau Kota Malang berlangsung, Agustus. Disaat itulah hari tanpa hujan atau HTH semakin meningkat. Ini berarti masyarakat perlu perhatian ekstra untuk mewaspadai dampak puncak kemarau.

“Kekeringan tidak dapat dihilangkan namun bisa diturunkan besarannya. Dalam skala global, perlu pemeliharaan konservasi lahan dan air. Bisa pula (melakukan) pembatasan pengambilan air tanah yang berlebihan,” tutup Mahfuzi. (Der/Ulm)