Bola Kesedihan Para Hero

Yunan Syaifullah *) Penikmat Bola, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

SEPAK bola adalah pesona kemanusiaan. Ragam pesona itu mementaskan berbagai hasrat dan harapan. Hasrat kemenangan. Hingga, gagalnya harapan berupa kekalahan. Kekalahan dan kesedihan adalah hasil dari harapan yang sedang dikecewakan.

Sepak bola dari dulu hingga kini, ditasbihkan dan menjadi panggung hasrat dan kemanusiaan yang mempertontonkan berbagai pesona kemanusiaan. Didalamnya, selalu memperagakan strategi dan taktik seolah perang untuk merebut kuasa dan pengaruh; krisis; bencana; dan, berbagai skandal penghianatan terhadap fair play.

Meski selalu diwarnai drama menyedihkan. Sepak bola tidak pernah usang, lapuk bahkan mati. Justru makin mengundang daya tarik dan pesona. Bahkan hiburan bagi seluruh umat manusia diberbagai belahan dunia. Tanpa mengenal perbedaan status dan kelas sosial.

Sepak bola adalah dunia para hero yang mempertontonkan sekaligus daya pamer atas segala bakat, kemampuan diatas lapangan hijau.
Para hero di lapangan hijau memamerkan segala kemampuan dan bakatnya bukan sekadar untuk permaianan namun untuk merebut kuasa dan pengaruh berupa kemenangan.

Ragam dan unjuk kebolehan yang dipamerkan para hero seolah seperti panggung opera sabun. Disinilah, wajah sepak bola yang seakan terus hidup tanpa ada keinginan untuk mati. Panggung seperti inilah, sepak bola seolah terus mampu menghibur dan menghipnotis para penonton.

Akan tetapi, sepak bola bukanlah panggung opera sabun yang dangkal. Sebab sepak bola, para hero-nya harus selalu siap terlibat dalam pergulatan yang keras, penuh intrik dan lainnya untuk tujuan akhir yang diharapkan.
Pergulatan yang dilakukan para hero tidak selalu berakhir dengan hasil akhir gemilang berupa kemenangan.

Sepak bola senantiasa memberikan pelajaran menarik bagi setiap penonton tentang arti dan makna realisme nasib.
Tradisi realis yang memiliki pengaruh kuat dan dominan dalam pikiran kelompok skeptis-deduktif. Salah seorang tokohnya adalah Oliver Wendell Holmes Jr. Dirinya pernah berujar bahwa nyawa hukum bukanlah logika melainkan pengalaman. Pernyataan Holmes ini, dalam perkembangannya, tanpa disadari ternyata menjadi semacam keyakinan (credo) bagi penganut skeptis-deduktif. Bahkan, buku The Common Law I (1881) yang ditulis Oliver Wendell Holmes Jr itu telah menjadi kitab wajib bagi penganut skeptis-deduktif di kemudian hari.

Kredo yang berasal Holmes ini sesungguhnya bermuatan pesan untuk disampaikan pada kita. Holmes mengingatkan bahwa hukum adalah aturan-aturan yang kontigen dan menyesuaikan diri dengan selera dan kebutuhan-kebutuhan yang ada di masyarakat.

Dalam konstruksi modern sekarang ini adalah bangunan sosial yang berasal dari anggota masyarakat bukan sabda yang turun dari langit.
Upaya untuk menemukan unsur-unsur yang sama pada sebuah sistem hukum (politik, ekonomi) seringkali dianggap tidak masuk akal atau sebagai upaya perampatan yang dangkal.

Kita sering menyaksikan para sarjana dari pelbagai keahlian yang tertawa kegirangan ketika mampu menunjukkan bagaimana teori-teori umum yang coba dibangun oleh para ahli (pakar) namun tidak pernah berhasil itu dan dibuat macet oleh perkembangan yang ada atau rusak sama sekali oleh hal-hal khusus tertentu yang dihasilkannya.

Aktivisme kita saat ini dan ke depan bukanlah dengan kekuatan logika dan ketakutan akan perenungan diri melainkan dengan suatu perangkat materi sosial kemasyarakatan yang alot dan melahirkan sekian banyak ragam aturan yang tersebar di berbagai tempat dan waktu
Sepak bola dengan tegas mengajak dan melibatkan para penonton pada dua pilihan tegas yang wajib dipilih, yakni untuk berada pada pihak kemenangan ataukah kekalahan.

Bukan karena kesengajaan, perhelatan Euro 2020 diselenggarakan dan tersebar di 11 negara dan 11 kota yang memiliki kesejarahan sepak bola dunia. Meski Euro 2020 diselenggarakan ditengah masih berjalannya Pandemi Covid-19, Euro 2020 mampu dan menjelma menjadi panggung hiburan menarik.

Menariknya, panggung Euro 2020 sesungguhnya menyisipkan dan bicara mengenai masa depan dan kesadaran melalui sepak bola.

Perbincangan masa depan dan kesadaran, teringat kembali Pidato Pembelaan Mohammad Hatta –akrab dengan Bung Hatta—sebagai salah seorang proklamator dalam pengadilan Den Haag Belanda, 9 Maret 1928 lampau patut untuk disimak kembali. Pidato Pembelaan Bung Hatta dikenal dengan tajuk “Indonesia Merdeka” (Indonesie Vrij) yang dibaca selama 3,5 jam mengupas habis tentang praktik eksploitasi dan sisi lain dari kolonialisme.

Para hero lapangan hijau di Euro 2020 memamerkan segala bakat dan kemampuannya tujuannya tidak lain adalah merebut kuasa dan pengaruh dalam hal kemenangan untuk negaranya. Menjadi seorang hero tidak sebatas membunyikan ikrar seorang hero dan tanpa jiwa yang utuh. Ikrarnya melibatkan nasionalisme dengan makna yang luas.

Ikrar dan jiwa yang utuh yang melebur jadi satu itulah idealisme para hero. Idealisme adalah sumber perubahan. Perubahan terjadi karena tidak adanya kepuasan terhadap kondisi terkini, perubahan terjadi karena ada “kesalahan” atas suatu hal, perubahan dapat dilakukan hanya bila ada keberanian, dan keberanian untuk melakukan perubahan merupakan implementasi nyata dari idealisme.

Idealisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa seseorang, dan termanifestasi-kan dalam bentuk perilaku, sikap, ide ataupun cara berpikir. Pengaruh idealisme tidak hanya terbatas pada tingkat individu.

Para hero lapangan hijau yang mewakili Negara yang sedang dikecewakan karena gagal lolos ke fase 8 besar, seperti Portugal, Prancis, Jerman, Belanda, mereka memiliki pernyataan dan pesan menarik: “…kita ini mempunyai pengalaman sebagai negara sepak bola meski harus gagal dan tersungkur.”

Pesan itu menyadarkan kita semua. Kenapa harus dibuat tegang dan penasaran oleh hasil pertandingan. Karena bicara sepak bola bisa apa saja. Itu sah-sah saja.

Euro 2020 menjadi wadah dan kekuatan untuk menyatukan segala perbedaan. Semua orang dimanapun, profesi apapun tiba-tiba memiliki energi yang sama untuk berbicara sepak bola. Kali ini bintang yang ditunggu semua orang adalah 8 negara yang lolos dalam fase 8 besar sebagai kekuatan baru

Bicara sepak bola Eropa yang fenomenal tersebut berbanding terbalik dengan sepak bola negeri kita sendiri.

Di negeri ini, sepak bola bukan sepak bola-nya yang harus disepak malah memainkan kepala orang yang disepak. Begitu pun lapangan yang dipakai bukan lapangan bola melainkan di koran-koran atau di atas kertas tepatnya di bibir-bibir bergincu. Seram di mulut!

*Pojok Pustaka, 01 Juli 2021 pukul 15.03 wib