MALANGVOICE– Persoalan sampah merupakan isu aktual yang berisiko mendatangkan bencana ekologis dampak buruknya tata kelola persampahan. Terobosan inovasi pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan merupakan hal mendesak. Seiring dengan terus meningkatnya volume sampah imbas pertumbuhan penduduk.
Sebagai daerah pariwisata, timbulan sampah di Kota Batu bukan hanya dihasilkan dari domestik rumah tangga, namun juga dari aktivitas wisatawan. Maka perlu pendekatan secara holistik berbasis keterlibatan peran serta masyarakat mengurai persoalan sampah mulai hulu hingga hilir.
Rata-rata dalam sehari timbulan sampah di Kota Batu mencapai 122 ton. Dari jumlah itu, 106 ton sudah berhasil dikelola, namun masih tersisa sekitar 16 ton per hari yang tercecer. Jika ditotal setahun, timbunan sampah di Kota Batu mencapai 44.582 ton. Data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batu mencatat, 89,88 persen sudah terkelola, sementara 10,12 persen belum tertangani.
Wakil Wali Kota Batu Heli Suyanto mengakui capaian tersebut cukup baik. Namun, belum bisa membuat kota ini bebas masalah persampahan. Karena itu, perlu data akurat dalam merumuskan kebijakan secara tepat dan berkelanjutan dalam pengelolaan sampah.
“SIPSN adalah instrumen penting agar kebijakan pengelolaan sampah diambil tepat sasaran, akuntabel dan berkelanjutan. Sampah bukan sekadar urusan kebersihan. Ini soal lingkungan, kesehatan dan keberlanjutan pembangunan,” tegasnya.
Meski angka produksi sampah cukup tinggi, Kota Batu sudah mulai bergerak ke arah pengelolaan modern. Program pemilahan dari sumber berjalan di sejumlah wilayah. Dari situ, sekitar 37 ton per hari berhasil diolah mandiri melalui unit-unit pengelolaan sampah yang tersebar di masyarakat. Heli menegaskan, langkah ini harus diperluas.
“Infrastruktur penting, tapi perilaku lebih utama. Kalau warga terbiasa memilah dari rumah, beban pengelolaan di hilir akan jauh lebih ringan,” sebutnya.
Untuk menjawab tantangan itu, Pemkot Batu telah menyusun roadmap pengelolaan sampah 2026. Ada lima langkah besar yang akan dijalankan. Diantaranya, mengurangi timbulan sampah hingga 44 ribu ton per tahun, baik dari rumah tangga maupun kawasan wisata.
Lalu gerakan Dekomposter Desa/Kelurahan dengan target distribusi 10 ribu komposter rumah tangga, Green Nation Campaign berupa aksi bersih kota dan panen raya kompos, penguatan kelembagaan dan infrastruktur TPS3R serta rumah kompos di tiap kecamatan hingga RW dan pendanaan berlapis mulai dari APBD minimal 3 persen, dana desa, CSR, hingga bantuan pihak ketiga.
“Ini bukan sekadar target angka. Kami ingin membangun ekosistem ekonomi sirkular, di mana sampah bukan lagi masalah, tapi sumber daya,” jelas Heli.
Meski sudah berjalan, Pemkot Batu masih menghadapi dua tantangan besar pendataan dan kesadaran masyarakat. Pendataan detail penting agar kebijakan tepat sasaran. Sementara itu, partisipasi aktif warga jadi kunci agar program tidak berhenti hanya di atas kertas.
“Kalau semua bergerak, Kota Batu bisa jadi percontohan kota wisata yang bersih dan lestari,” tambahnya.
Heli menegaskan, arah kebijakan ke depan bukan hanya memperbanyak infrastruktur pengolahan sampah, tapi juga memperkuat edukasi dan pendampingan teknis. RT, RW, hingga kelembagaan pengelola sampah akan didampingi agar bisa mandiri.
“Kami ingin perilaku warga berubah. Dengan begitu, masalah sampah bisa ditekan dari hulunya,” pungkasnya.
Belum optimalnya pengelolaan sampah mengakibatkan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) Kota Batu merosot drastis di tahun 2024. Data Kementerian Lingkungan Hidup mencatat, peringkat Kota Batu terjun bebas dari posisi ke-7 nasional pada 2023, merosot ke urutan 131 pada 2024. Sejumlah strategi disusun agar Kota Batu kembali masuk jajaran atas kota-kota dengan kualitas lingkungan hidup terbaik di Indonesia di tahun 2025.
“Faktor utamanya karena pengelolaan sampah yang belum optimal dan banyaknya pembakaran sampah anorganik maupun residu di seluruh desa/kelurahan di Kota Batu,” ungkap Kepala DLH Kota Batu, Dian Fachroni.
Ia membeberkan, praktik pembakaran yang terjadi hampir di 24 desa dan kelurahan itu melepaskan asap sarat bahan kimia yang mencemari udara. Melihat hal itu, DLH langsung memetakan masalah dan menyusun strategi. Salah satunya membangun big komposter berkapasitas 4 ton per hari untuk menyelesaikan sampah organik di 21 ruas jalan protokol. Sistemnya swakelola tipe 1, di mana dinas membeli material dan membayar tukang secara langsung.
Selain itu, rumah kompos berbasis dusun akan dibangun untuk melayani 750 hingga 1.000 kepala keluarga per titik. Nantinya, pengelolaan akan diserahkan kepada kelompok masyarakat yang ditunjuk oleh kepala desa atau lurah melalui skema swakelola tipe 4.
“Kami libatkan masyarakat langsung. Jadi selain mengurangi sampah organik, ini juga membangun rasa memiliki dan tanggung jawab bersama,” kata Dian.
Menurut Dian, hasil evaluasi menunjukkan penggunaan incinerator yang tidak standar menjadi salah satu penyebab turunnya kualitas udara. Incinerator, lanjut Dian, memang mampu mengurangi volume sampah dengan cepat, tapi efek sampingnya tidak main-main. Karena itu, saat ini pihaknya fokus pada aktivasi pengolahan sampah organik.
“Kami mengidentifikasi, selain karena padatnya kunjungan wisatawan, turunnya indeks kualitas udara juga diproduksi oleh tungku-tungku incinerator yang tidak standar,” ujarnya.
Ke depan, Kota Batu membutuhkan setidaknya 60 rumah kompos untuk mengelola sampah organik di tingkat dusun. Saat ini, anggaran untuk membangun 20 unit sudah tersedia. Mekanisme pembangunannya menggunakan belanja modal, mengingat rumah kompos tersebut akan menjadi aset pemerintah kota.
“Pelaksanaannya tetap melibatkan Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang ditunjuk kepala desa. Jadi pemerintah sediakan fasilitasnya, warga yang kelola,” papar Dian.(der)