Asal Muasal THR, Berawal dari Tuntutan Serikat Buruh Haluan Kiri

Kelompok buruh yang tergabung dalam SOBSI memperjuangkan hak tunjangan hari raya (THR). Untuk meredam gejolak, pemerintah melalui Menteri Perburuhan, S.M. Abidin (1953-1955) menerbitkan Surat Edaran nomor 3676/54 tentang 'Hadiah Lebaran'. (MVoice/X Potret Lawas).

MALANGVOICE– Pegawai negeri maupun swasta selalu menunggu pencairan tunjangan hari raya (THR). Pendapatan di luar gaji atau upah itu wajib diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerja menjelang hari raya keagamaan, seperti Idulfitri.

Besarannya bervariasi disesuaikan dengan masa kerja. Bagi sudah bekerja setahun penuh atau lebih, besaran THR lazimnya dibayarkan senilai satu kali gaji. Sementara untuk mereka yang bekerja kurang dari setahun, THR dibayar dengan perhitungan secara proporsional.

Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja pun memberikan instruksi melalui surat edaran kepada kepala daerah. Mewajibkan pemberi kerja untuk membayarkan THR sejak H-10 dan paling lambat H-7 lebaran. Hal ini untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional seiring meningkatnya konsumsi masyarakat.

Baca juga:
2.112 Napi Lapas Malang Terima Remisi Khusus Idulfitri, 4 Orang Langsung Bebas

UNESCO Kabulkan Usulan Indonesia untuk Mengakui Idulfitri sebagai Hari Besar Keagamaan

Polresta Malang Kota Gagalkan Peredaran Ganja 42 Kilogram dari Sumatera

MPM Honda Jatim Sediakan Bale Santai Honda, Cek Lokasinya!

Kebijakan pembayaran THR yang berlangsung hingga kini memiliki akar sejarah panjang. Merangkum dari berbagai sumber, awal pemberian THR muncul sejak tahun 1950. Gagasan itu dicetuskan pada era Kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi. Oleh Presiden RI, Soekarno, Ia ditunjuk sebagai Perdana Menteri ke-6 Indonesia yang saat itu menganut sistem pemerintahan parlementer.

Kala itu, pemberian THR terbatas hanya diberikan kepada pegawai pemerintah atau pamong praja. Kebijakan Itu bagian dari program kerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan aparatur negara. Terlebih kondisi perekonomian Indonesia saat itu dinilai stabil sehingga pemerintah berani mengambil kebijakan ini. Besaran THR yang diberikan saat itu sebesar Rp125 sampai Rp200 per orang setara dengan gaji pokok pegawai.

Pemberian THR yang hanya sebatas bagi pegawai pemerintah menyulut protes dari kalangan buruh yang tergabung dalam Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Sebuah federasi serikat buruh terbesar di Indonesia yang didirikan pada akhir tahun 1940-an. SOBSI berkembang pesat pada tahun 1950-an dan terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada 13 Februari 1952 mogok kerja pun digelar sebagai bentuk protes dan tuntutan agar mereka mendapatkan THR sebesar satu bulan gaji. Awalnya pemerintah masih mengabaikan suara buruh. Akan tetapi, terus berjuang meminta buruh mendapat THR Kemudian, kabinet Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri kedelapan Indonesia, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri

Sementara itu, buruh gencar menuntut pemerintah. Karena tekanan itu, Menteri Perburuhan S.M. Abidin mengeluarkan Surat Edaran nomor 3676/54 mengenai “Hadiah Lebaran”. Pemerintah juga mengeluarkan surat-surat edaran tentang THR pada rentang 1955-1958. Akan tetapi, karena hanya berupa imbauan, surat edaran ini belum memberi jaminan THR bagi buruh.

Tuntutan buruh yang berharap pemberian THR lantas didengar oleh Presiden Soekarno. Ahem Erningpraja yang menjabat sebagai Menteri Perburuhan di masa pemerintahan Soekarno lalu menerbitkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1/1961.

Ketentuan yang mengatur pemberian THR bagi pekerja juga berlanjut ketika Orde Baru dengan dikeluarkannya Permenaker RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. Ketentuan tersebut secara resmi mengatur supaya pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja mereka yang sudah bekerja selama bulan secara terus-menerus atau lebih.

Besaran THR yang diberikan ditentukan oleh lamanya pekerja bekerja di perusahaan. Bagi pekerja yang sudah bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus atau lebih, mereka berhak mendapatkan THR sebesar satu bulan gaji.

Namun, pekerja yang baru bekerja selama tiga bulan secara terus menerus dan kurang di bawah 12 bulan, mendapat THR secara proporsional. Perhitungan THR untuk mereka adalah masa kerja dibagi 12 dikalikan satu bulan gaji.

Pada 2016 pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan mengenai THR. Perubahan ini tertuang dalam peraturan menteri ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016. Peraturan ini menyebutkan, pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan THR.

Tak hanya itu, kewajiban pengusaha untuk memberi THR tidak hanya diperuntukkan karyawan tetap, tetapi juga untuk pegawai kontrak. Aturan itu juga mencakup mereka yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) ataupun perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Pada momen Lebaran 2024, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah yang telah mengeluarkan surat edaran dengan Nomor SE Surat Edaran (SE) Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan 2024 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Ida menjelaskan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah memberi landasan hukum sebagai acuan bersama dalam pelaksanaan pemberian THR keagamaan. Pihaknya pun menerbitkan SE untuk menegaskan kembali ketentuan-ketentuan pembayaran THR tersebut.

Surat Edaran (SE) tersebut bertujuan memberikan imbauan dan panduan kepada perusahaan dalam membayar THR keagamaan jelang Idulfitri 1445 Hijriah.

“Kami juga akan menggelar konferensi pers untuk menegaskan dan mengingatkan kembali hal-hal yang sudah diatur dalam regulasi yang sudah ada,” kata dia.