Angkutan Online Lebih Diminati, Pengamat: Sopir Mikrolet Harus Perbaiki Layanan

Angkot Mogok Jalan

Aksi mogok sopir mikrolet di depan Balai Kota Malang. (Miski)

MALANGVOICE – Kemelut antara sopir mikrolet atau angkot dan angkutan online terus berlanjut. Kondisi ini menjadi ramai belakangan ini. Termasuk di Kota Malang.

Kehadiran angkutan online, baik taksi dan ojek dinilai negatif bagi sopir angkot dan taksi konvensional. Mereka beranggapan pendapatannya menurun drastis akibat penumpang dierebut angkutan online. Hal ini pula yang menggerakkan sopir angkot dan taksi di Kota Malang turun ke jalan dan mogok massal. Terakhir, mereka memilih mogok pada Selasa (26/9) kemarin di depan Balai Kota Malang.

Belum adanya kepastian membuat sopir konvensional ini gerah dan kecewa atas sikap diam pemerintah.

Situasi ini di Kota Malang bukan hal baru. Pasalnya, fenomena serupa sebelumnya terjadi di daerah lain. Pada April 2017 lalu di Jakarta, aksi sopir konvensional berujung bentrok dengan sopir angkutan online. Juga terjadi di Bali meski tidak separah di Kota Malang.

“Situasi ini menjadi dilema karena mikrolet merupakan angkutan resmi yang sudah beroperasi dari dulu. Namun, tidak dipungkiri, kehadiran angkutan online mampu mengambil hati penumpang. Pemicunya karena lebih praktis dan tarifnya murah,” kata pemerhati angkutan umum, Andreas Lucky Lukwira, kepada MVoice.

Tarif angkutan online lebih murah karena adanya subsidi dari provider mereka. Sedangkan mikrolet relatif mahal karena biaya operasionalnya cukup tinggi. Diperparah tidak adanya insentif bagi sopir mikrolet.

Andreas menilai akan sulit apabila pemerintah mencarikan solusi atas penyelesaian konflik tersebut.

“Sebenarnya peran penting ada di Dinas Perhubungan,” ujar dia.

Kehadiran angkutan online sebagai momentum tepat untuk memperbaiki angkutan umum di Malang.

Peran Dishub amat vital. Namun, ada pembiaran dalam praktik penyimpangan yang dilakukan oknum sopir mikrolet. Dishub punya wewenang untuk menentukan baik buruknya kualitas angkutan umum di daerah.

Mengacu pada Pasal 262 undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ). Dishub bisa memeriksa kondisi angkutan umum dan pengemudinya. Meliputi administrasi ataupun kelaikan jalan angkutan.

Ia mencontohkan, ketika tarif mikrolet masih Rp 1.700 sekali jalan, tetapi sama sopir justru ditarik Rp 2.000. Belum lagi ada kenaikan tarif kala masuk lebaran.

“Perilaku ini justru dibiarkan. Tidak dintindak tegas. Padahal, jika ada keluhan, seharusnya Dishub berada di garda terdepan,” jelasnya.

Andreas juga menyarankan supaya rute mikrolet menyesuaikan dengan perkembangan kota. Rutenya haruslah efisien, tidak seperti saat ini yang bisa dibilang memakan waktu lama ke tujuan.

“Rute yang efisienn akan menjadi daya tarik penumpang. Beda pula jika rutenya tidak efisien, penumpang akan malas dan memilih angkutan yang simpel,” lanjut pemegang akun Twitter @NaikUmum ini.

Ia meminta semua pihak dapat menahan diri. Perilaku kekerasan nantinya menjadi penilaian buruk masyarakat terhadap pelakunya.

Andreas juga mengharapkan peran Dishub maksimal. Tidak sekadar menarik retribusi dan memeriksa kendaraan.

“Bagi pemilik atau sopir mikrolet. Hadirnya angkutan online mesti jadi pelecut untuk memperbaiki layanan. Harus disadari bawah sumber pendapatan dari penumpang. Layanilah penumpang dengan baik,” pungkas pria yang juga Humas LPSK ini.(Der/Yei)