Angkot Konvensional VS Transportasi Online, Pilih Mana?

Polemik Ojek dan Taksi Online di Kota Malang

Angkot di Kota Malang sudah mulai beroperasi. (Muhammad Choirul)
Angkot di Kota Malang sudah mulai beroperasi. (Muhammad Choirul)

MALANGVOICE – Perkembangan teknologi kini semakin pesat. Terlebih penggunaan teknologi berbasis online. Tak hanya mudah, namun juga praktis sehingga banyak dimanfaatkan manusia untuk melakukan banyak hal. Mulai dari belanja, membayar tagihan, hingga memesan kendaraan umum.

Di Indonesia sendiri, metode pemesanan kendaraan umum berbasis online memang popular. Hanya tinggal sekali klik di aplikasi, kendaraan yang dipesan segera tiba beserta data diri dan track perjalanan yang akan dituju. Tarifnya pun langsung muncul seiring jarak yang akan ditempuh. Akan tetapi keberadaannya kini ditentang para pendahulunya, yakni kendaraan umum konvensional.

Di Kota Malang, permasalahan ini belum saja kelar. Pihak sopir angkutan kota (angkot) merasa keberadaan angkutan berbasis online sangat merugikan dan dituding menjadi penyebab merosotnya pendapatan mereka per hari. Akibatnya ratusan sopir angkot lagi-lagi melaksanakan aksi mogok massal di depan Balai Kota Malang, Selasa (26/9).

Para sopir angkot konvensional pun mengadu ke beberapa kalinya pada Pemkot Malang agar menutup dan menghentikan aktivitas transportasi online.

Di luar semua keinginan sopir angkot konvensional itu, warga Kota Malang sekaligus konsumen punya alasannya sendiri. Masyarakat ada yang setuju dengan keberadaan transportasi online, dan ada yang tetap mendukung angkot konvensional.
Salah seorang pegawai hotel di Malang, Hendri Wijaya (27), mengaku lebih suka transportasi online seperti Go-Jek dan Grab karena praktis dan lebih cepat sampai ke tujuan.

“Enak tinggal duduk manis saja tunggu jemputan. Kemanapun tujuannya. Kalau angkot sudah ada jalurnya. Jadi mungkin perlu ganti angkot atau opee. Saya naik angkot sekitar 1.5 tahun lalu. Sudah lama tidak naik angkot lagi,” katanya saat ditemui MVoice.

Begitu pula dengan Yukiko Ayu (22), seorang model dan Public Relation sebuah perusahaan hosting, mengaku sangat membutuhkan transportasi online untuk menunjang mobilitasnya. Mulai dari sekadar pergi nongkrong, urusan kerja atau berkunjung ke klien, Yukiko tak pernah absen menggunakan transportasi online.

“Sebulan bisa-bisa naik Grab sampai 15 kali. Enak tinggal nunggu doang di rumah sudah dijemput mobilnya,” kata dia.

Selain itu, seorang ibu sekaligus praktisi media, Sylvianita (43) mengatakan, naik angkot maupun transportasi online seperti Grab, sama saja, hanya lebih menyesuaikan dengan kebutuhannya.

“Kalau buru-buru dan enggak ada angkotnya ya naik Go-Jek. Naik grab kalau pas rame-rame sama anak-anak saya. Misalnya ke Matos, kalau naik angkot oper dua kali. Berarti 4 kali Rp 4000, oper dua kali, pulang pergi berarti total Rp 64 ribu. Sedang naik grab, dari rumah matos cukup 25 ribu. Total Rp 50 ribu,” paparnya wanita yang hampir setiap hari naik angkot ini.

Tapi, lanjut Sylvy, naik angkot sebenarnya nyaman-nyaman saja. Mereka yang merasa tidak nyaman pasti karena tidak pernah naik angkot.

“Enggak dinikmati sih. Namanya angkutan umum ya lama. Makanya penumpang harus pinter-pinter bagi waktu sendiri, gimana caranya supaya on time,” tukasnya.(Der/Ak)

Begitulah pendapat masyarakat Malang soal pilihan transportasi umum. Lalu Anda pilih yang mana?