MALANGVOICE – Wacana tax amnesty “jilid II” diperbincangkan banyak publik. Terhadap wacana itu, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Ir Andreas Eddy Susetyo, secara tegas menyatakan tidak setuju dengan wacana tax amnesty “jilid II”.
Menurut Andreas Eddy, wacana itu tidak baik bagi masa depan sistem perpajakan Indonesia.
“Karena tidak saja mengingkari komitmen tahun 2016, bahwa tax amnesty hanya diberikan satu kali dalam satu generasi. Pelaksanaan tax amnesty “jilid II” akan meruntuhkan kewibawaan otoritas yang pada gilirannya berdampak negatif pada trust masyarakat wajib pajak. Rasa keadilan peserta tax amnesty, para wajib pajak patuh, dan wajib pajak yang sudah diaudit, akan tercederai,” tegasnya, Sabtu (22/5).
Politisi asli Malang ini menambahkan, secara psikologis hal ini juga buruk karena dapat menciptakan paham ketidakpatuhan dengan menggampangkan tax amnesty.
Lebih lanjut, anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Malang Raya ini mengungkapkan, Tax Amnesty tahun 2016 diimplementasikan sebagai wujud keterbukaan dan kebaikan pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi dengan menunda penegakan hukum yang seharusnya dimanfaatkan secara maksimal oleh wajib pajak.
Pada saat itu, diterapkan tarif sangat rendah, tidak ada kewajiban repatriasi, jangka waktu menahan harta di Indonesia hanya 3 tahun, dan mendapatkan pengampunan pajak tahun 2015 dan sebelumnya.
“Apalagi Ditjen Pajak masih memberikan kesempatan wajib pajak yang belum patuh untuk mengikuti program Pengungkapan Aset Sukarela dengan tarif Final (PAS Final) melalui PP 36/2017. Wajib Pajak membayar PPh terutang dan mendapat keringanan sanksi administrasi. Hal ini seharusnya diikuti para wajib pajak dengan sebaik-baiknya,” papar Andreas.
Andreas menguraikan, Pasca-amensty, pemerintah dan DPR menyepakati keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan melalui UU No. 9 Tahun 2017. Dengan demikian penegakan hukum dapat dilakukan lebih efektif dan adil karena didukung data dan informasi akurat sehingga dapat dibuat klasifikasi wajib pajak menurut risiko.
“Untuk itu kami mendorong Ditjen Pajak mengoptimalkan tindak lanjut data dan informasi perpajakan ini untuk mendorong kepatuhan yang lebih baik,”jelasnya.
Ia menilai tax amnesty bukan jawaban yang tepat atas shortfall pajak. Pemerintah harus terus didukung untuk fokus pada reformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan. Kebutuhan akan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel sehingga menghasilkan penerimaan yang optimal dan sustain jauh lebih penting dan mendesak ketimbang memberlakukan tax amnesty.
“Untuk memfasilitasi para wajib pajak yang ingin patuh dan mempertimbangkan kondisi pandemi, Pemerintah lebih baik membuat Program Pengungkapan Aset Sukarela (Voluntary Disclosure Program} dengan tetap mengenakan tarif pajak normal dan memberikan keringanan sanksi. Tarif lebih rendah dapat diberikan untuk yang melakukan repatriasi dan atau menginvestasikan dalam obligasi pemerintah. Hal ini harus diikuti dengan pelayanan yang baik, pembinaan, dan penegakan hukum yang konsisten dan terukur,” pungkas ayah satu putra ini.(der)