MALANGVOICE – Masih hangat peringatan Hari Bumi yang dirayakan setiap 22 April. Masyarakat Kota Batu mengatasnamakan Nawakalam Gemulo tak hentinya menyuarakan stop industrialisasi dan pembangunan di kota berjuluk Swiss Kecil ini.
Hal ini bukan tanpa sebab. Seiring gencarnya perkembangan Kota Batu sebagai kota wisata, fakta yang terjadi malah cenderung pada eksploitasi berlebihan. Yang berdampak kerusakan alam dan menimbulkan masalah ekologis lainnya.
“Perubahan wajah Kota Batu kini diperparah dengan adanya revisi peraturan daerah (Perda) nomor 7 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW ) yang mengarah pada industrialisasi dan mengubah status konservasi,” kata Pradipta Indra Ariono perwakilan Nawakalam Gemulo kepada MVoice.
Indra melanjutkan, bahwa isi draft revisi perda tersebut diindikasikan mengubah semula lahan bersifat konservasi menjadi area pembangunan industrialisasi wisata. Jika diakumulasi, terdapat perubahan luasan penggunaan lahan untuk kawasan pemukiman, perdagangan, perkantoran, industri, dan pariwisata sebesar 1.060.87 hektare.
“Namun, penggunaan lahan kawasan tanaman pangan dan hortikultura justru berkurang sebesar 1.682.64 hektare,” urainya.
Tidak hanya itu saja, masih kata Indra, yang menjadi persoalan ke depan juga terkait pencabutan 6 perda di Kota Batu. Beberapa perda tersebut penting dalam menjaga kelestarian air.
Adapun perda yang dimaksud adalah Perda nomor 18 tahun 2011 tentang Pelayanan di Bidang Pengairan, Perda nomor 6 tahun 2005 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.
“Dapat dilihat bahwa dalam berjalannya roda pemerintah selama ini telah mengabaikan sisi ekologis di Kota Batu. Sehingga penurunan daya dukung lingkungan terus terjadi dan mampu menimbulkan krisis lingkungan,” tutupnya. (Der/Ery)