Aksi Kamisan, Serukan Sudahi Praktik Penghilangan Paksa

Aksi Kamisan Malang ke-43 di Jalan Ijen, Kamis (30/8). (Istimewa)
Aksi Kamisan Malang ke-43 di Jalan Ijen, Kamis (30/8). (Istimewa)

MALANGVOICE – Peringati International Day of the Disappeared puluhan aktivis gelar Aksi Kamisan Malang ke-43, Kamis (30/8) di Jalan Ijen (depan Museum Brawijaya). Beberapa poin penting diserukan, terutama menuntut pengusutan dan penuntasan semua kasus penghilang paksa di Indonesia.

Bertajuk Menunggu Mereka Yang Tak Kembali, peserta aksi yang berkostum warna serba hitam itu menyerukan beberapa poin tuntutan yang ditujukan kepada pemegang kebijakan. Pertama, sudahi praktik penghilangan paksa di atas muka bumi. Karena bentuk pelanggaran HAM yang paling keji dan berpotensi melahirkan pelanggaran HAM turunan lainnya. Seperti kekerasan, penghilangan nyawa, maupun peniruan atau pengulangannya di masa depan.

Kedua, usut dan tuntaskan semua kasus penghilangan paksa di Indonesia. Kembalikan para korban yang dihilangkan apabila masih hidup dan tunjukkan makamnya kepada keluarga apabila telah meninggal dunia.

Ketiga, tangkap dan adili para pelaku beserta otak operasi penghilangan paksa di Indonesia. Kemudian, berikan hukuman yang seadil-adilnya. Tegakkan keadilan bagi para korban dan keluarga korban. Termasuk pulihkan nama baik serta rehabilitasi hak-hak korban maupun hak-hak keluarga korban yang dirampas dalam pelanggaran HAM.

“Hapuskan impunitas dan berikan larangan kepada para pelanggar HAM untuk memegang jabatan pemerintahan.
Terakhir, berikan jaminan perlindungan HAM bagi seluruh warga Indonesia,” kata Koordinator Aksi Kamisan Malang ke-43, Fajar.
Setiap tahun, lanjut dia, Kelompok Kerja PBB untuk penghilangan secara paksa melaporkan kasus-kasus penghilangan paksa. Dimulai secara sistematis di kawasan Amerika Latin sepanjang dekade 1970-an hingga pertengahan 1980-an, terdata 90.000 yang hilang dan hanya sekitar 5 % yang dapat kembali.

Menular ke Asia, Sri Lanka hingga hari ini terdata 60.000 kasus penghilangan secara paksa, jumlah terbesar di dunia, yang dilakukan baik oleh aparatus negara maupun kelompok separatis. Demikian pula yang terjadi di Filipina, Thailand, India, RRC, Korea Selatan, termasuk Indonesia. Sejak tahun 1965, pada awal Orde Baru, penghilangan secara paksa telah dilakukan bagi mereka yang dilabeli status komunis. Praktek ini terus terjadi sepanjang rezim otoritarian Soeharto. Seperti Kasus Tanjung Priok, Talangsari, Lampung, Timor Timur, dan di sepanjang periode operasi militer di Aceh dan Papua.

“Semuanya meninggalkan rindu terdalam bagi keluarga yang ditinggalkan dan tentu saja luka menjijikkan bagi sejarah demokrasi di negeri ini,” jelasnya.

Peserta Aksi Kamisan, Julia Rachmawati menambahkan, tujuan Aksi Kamisan kali ini untuk meningkatkan kesadaran akan berbagai penghilangan paksa atau tidak disengaja yang terjadi pada orang-orang di seluruh dunia. Termasuk penangkapan, penahanan, penculikan atau bentuk lain dari perampasan kebebasan oleh agen Negara atau oleh orang atau kelompok orang yang bertindak dengan otorisasi.

“Memang kasus penghilangan paksa ini terjadi di seluruh belahan dunia. Termasuk salah satunya kasus penghilangan aktivis 98 di Indonesia. Sampai detik ini negara masih belum memberikan kejelasan secara hukum, tidak ada proses pengusutan dan penyelidikan lebih serius untuk mengungkap ke ruang publik,” urainya.

Selama 20 tahun, masih kata Julia, negara tidak bisa menjamin hukum yg jelas bagi kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Tidak saja kasus 1998, tapi banyak kasus. Termasuk pembunuhan munir yang dokumen hasil TPF (Tim Pencari Fakta) saja hilang entah di mana.

“Lantas bagaimana pertanggungjawab negara akan hal itu? Dengan adanya aksi ini adalah salah satu alternatif untuk memberikan kesadaran masyarakat untuk mendapatkan dukungan dalam memdorong pemerintah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia,” tutup dia. (Hmz/Ulm)