Aksi Diam Jurnalis Malang Memprotes Kekerasan Aparat Kepolisian

(istimewa)

MALANGVOICE – Gabungan jurnalis dari berbagai organisasi profesi melakukan aksi diam di kawasan Alun-alun Tugu Kota Malang, Senin (19/10). Hal itu bentuk protes terhadap kepolisian yang melakukan intimidasi dan kekerasan saat peliputan unjuk rasa menolak pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja pada Kamis 8 Oktober lalu.

Tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Malang Raya Antikekerasan, aksi tersebut mendesak usut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan beragam poster serta memajang manekin sebagai bentuk protes. Lintas organisasi profesi terdiri PFI (Pewarta Foto Indonesia) Malang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) PWI Malang, dan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) Korda Malang, juga melayangkan pernyataan sikap ditujukan kepada Polri, khususnya Polresta Malang Kota.

Sekretaris AJI Malang, Zainul Arifin menjelaskan, bahwa hasil pendataan dan verifikasi sampai hari ini tercatat 15 jurnalis mengalami kekerasan fisik maupun kekerasan verbal yang dilakukan personel kepolisian. Kekerasan berupa pemukulan, perampasan alat kerja, penghapusan paksa karya jurnalistik (foto dan video) sampai intimidasi secara verbal.

“Padahal para jurnalis dari media cetak, elektronik dan siber tengah melakukan kerja jurnalistik. Hampir semua jurnalis dilengkapi kartu pers saat bekerja. Juga menjelaskan kepada anggota Polri yang bertugas jika wartawan dalam menjalankan kerja jurnalistik dilindungi UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,” ujarnya.

Merespon itu, lanjut dia, Solidaritas Jurnalis Malang Raya Antikekerasan menyatakan, Polresta Malang Kota wajib mengusut kasus kekerasan terhadap jurnalis saat peliputan unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja. Serta memberi pemahaman kepada setiap personel untuk mematuhi UU Pers agar peristiwa serupa tak terus berulang.

Mengimbau perusahaan media bertangungjawab penuh terhadap jurnalisnya, membekali jurnalisnya dengan identitas kartu pers. Perusahaan pers mendampingi jurnalis yang menjadi korban kekerasan sesuai Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan yang dikeluarkan Dewan Pers. Mengimbau pada para jurnalis yang mengalami kekerasan verbal dan non verbal berani melaporkan kasusnya.

“Serta mengingatkan jurnalis untuk mematuhi kode etik dan UU Pers dalam menjalankan kerja jurnalistik,” sambung dia.

Berikut rincian 15 kasus kekerasan yang dialami jurnalis saat peliputan unjuk rasa menolak pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja di kawasan DPRD Kota Malang atau Alun-alun Tugu Kota Malang, 8 Oktober lalu.

Seorang Jurnalis Dipukul.
Kronologi : Seorang jurnalis media cetak berjalan kaki dari Alun-alun Tugu menuju Taman Singha di depan Stasiun Kota Baru. Ia hendak mengambil motor sekaligus membeli minum usai meliput di depan gedung DPRD. Setibanya di taman, terjadi perseteruan antara massa aksi dan personel Polri. Mereka saling beradu argumen.

Begitu polisi mengejar massa, korban tiba-tiba ditarik dari belakang hingga jatuh. Menyebabkan kepalanya membentur aspal. Setelah jatuh, korban berteriak menyebutkan jika profesinya adalah jurnalis. Tapi korban tetap dikerumuni sekitar tiga anggota polisi.

Seorang polisi tetiba memukul di bagian pelipis dan sekali menendang perutnya. Seorang polisi lainnya lalu cepat bergerak menarik tubuh korban, memaksa berdiri. Mereka menggelandang dan menginterogasi korban di mobil polisi yang berada di belakang gedung DPRD. Dalam kondisi memar, korban dibebaskan setelah ditolong jurnalis lain dan warga.

4 Jurnalis Mengalami Perampasan Alat Kerja dan Penghapusan/Sensor Paksa Foto
Kronologi : Keempat jurnalis berada di posisi berbeda di kawasan Tugu. Mereka (tiga jurnalis memakai gawai dan seorang jurnalis menggunakan kamera DSLR) mengambil foto kericuhan unjuk rasa tolak Omnibus Law. Personil polisi mengintimidasi keempat jurnalis agar tak mengambil gambar polisi yang menangkap para demonstran.
Polisi laki-laki dan polisi wanita mengambil paksa gawai dari tangan ketiga jurnalis. Gawai dikembalikan setelah polisi memeriksa seluruh isi folder foto. Seorang pewarta foto diintimidasi dan dipaksa agar menghapus foto hasil bidikan kamera. Disertai kalimat, “Hapus, hapus, hapus gak,.”

10 Jurnalis Mendapat Kekerasan Verbal (Intimidasi/Ancaman) dan Penghalangan Kerja
Kronologi : Sebagian besar para jurnalis ini tidak dalam satu posisi dan lokasi yang sama. Masing – masing mendapat diintimidasi agar tak memotret peristiwa polisi menangkap massa aksi. Jurnalis diancam akan,”dicari bila foto tetap dimuat”. Ada juga seorang personel polisi mendorong kamera seorang jurnalis yang sedang membidikkan kamera untuk merekam momen sembari mengatakan, “ada perintah dari atasan’.

Tidak sedikit pula personel polisi menyorongkan tangan ke arah kamera jurnalis sekaligus memperingatkan agar tak mengambil gambar. Padahal kesepuluh jurnalis itu sudah menjelaskan profesinya kepada polisi dan menunjukkan kartu pers.

Zainul menambahkan, bahwa anggota Polri mengabaikan peran jurnalis saat melakukan kerja-kerja jurnalistik. Sebab, melanggar UU nomor 40 tahun 199 tentang Pers. Pada Pasal 4 UU Pers menegaskan, terhadap pers nasional tidak diperkenankan penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran. Kemerdekaan pers dijamin dan pers berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pasal 8 juga menegaskan, dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.

“Maka, siapapun yang melawan hukum karena sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan profesi pers, bisa dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimal Rp500 juta (Pasal 18 ayat 1),” pungkasnya.(der)