Aibon Effect dalam Polemik MCC (Malang Creatif Center) Kota Malang

Oleh: Dito Arief Nurakhmadi

Beberapa waktu belakangan, publik dikagetkan dengan ramainya pemberitaan pembahasan KUA PPAS (Kebijakan Umum Anggaran – Prioritas Plafon Anggaran Sementara) APBD DKI Jakarta Tahun 2020, dimana diantaranya penganggaran Lem Aibon dan Pulpen Gambar yang dianggap tidak masuk akal dengan nilai fantastis mencapai 83 M dan 123 M untuk dua item tersebut. Meskipun belakangan coba diklarifikasi oleh Gubernur DKI Anies Baswedan, bahwa permasalahan mekanisme input sistem dalam E-Budgeting yang menjadi sebab musabab, namun apa lacur karena sudah riuh di ruang publik akhirnya menjadi isu liar yang kemudian menjadi polemik, bahkan turut membuat berbagai tokoh seperti Ketua KPK Agus Raharjo hingga beberapa Menteri turut berkomentar terhadap polemik tersebut.

“Aibon Effect” di DKI Jakarta rupanya hinggap juga di Kota Malang, meskipun item-nya beda namun kontroversinya sama, yaitu diantaranya anggaran 25 Miliar untuk Makan Minum Pemkot Malang, dan ada juga polemik 125 Miliar untuk Gedung MCC (Malang Creatif Center) dalam RAPBD Kota Malang 2020. Keduanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bermula dari Ruang Rapat Badan Anggaran dan Tim Anggaran untuk pembahasan APBD 2020, dan sama-sama dimunculkan oleh Politisi (Red-Anggota DPRD). Meskipun sih, sampai saat ini belum sampe ada Menteri atau Pejabat tinggi Negara yang komentar (seperti DKI Jakarta), namun secara kegaduhan, meskipun getarannya berbeda, cukup menarik perhatian banyak masyarakat, khususnya masyarakat Kota Malang. Apalagi Kota Malang yang saat ini belum menerapkan E-Budgeting, kegaduhan terkait anggaran tentu larinya kepada Good Will terkait transparansi anggaran kepada publik.

MCC (Malang Creatif Center) dengan berbagai kontroversinya adalah gagasan turunan dari Mimpi dan Visi Misi Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada Kota Malang 2018 kemarin, Drs. H. Sutiaji dan Ir. H. Sofyan Edi Jarwoko yang secara resmi kemudian masuk dalam dokumen RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kota Malang 2018-2023, yang ingin mewujudkan Malang Creatif dan Malang Smart (Smartcity) sebagai Masa Depan Kota Malang ke depan dalam salah satu Visi Misi-nya, yang kemudian dibreakdown melalui RKPD dalam APBD Tahun 2020. Sebenarnya tidak hanya Proyek MCC ini saja yang harusnya menjadi Perhatian karena jumbonya anggaran yang dibutuhkan, karena ada juga Proyek Jembatan Kedungkandang, Islamic Center, Taman Bunga Internasional Merjosari, Kayutangan Heritage dan Mini BlockOffice Belakang Balai Kota Malang, yang kesemuanya teranggarkan dalam RAPBD 2020.

Namun yang kemudian membuat menarik adalah, ketika Bapak Ibu DPRD Kota Malang menyampaikan khususnya untuk Proyek MCC, bahwa mereka “Menolak dengan memberikan Catatan” terhadap Proyek tersebut, disertai dengan menyampaikan alasan bahwa pembahasan sebelumnya telah dilakukan oleh DPRD sebelumnya, yaitu DPRD hasil PAW periode 2018-2019, dimana dianggap ada semacam “Pengkondisian” bahwa Proyek MCC tersebut bisa lolos. Pertanyaannya, betulkah ada pengkondisian? Karena tentunya ini akan berkonsekuensi hukum bila memang benar adanya, karena Kota Malang masih hangat betul dengan cerita 40 Anggota DPRD nya terjerat KPK karena “Pengkondisian” RAPBD 2015 silam, apakah kemudian DPRD pengganti Lapis Kedua ini berani mengulangi hal yang sama.

Tentu menjadi aneh ketika DPRD Kota Malang saat ini mempertanyakan Asbabun Nuzul hadirnya beberapa proyek kontroversial tersebut, bahkan cenderung cuci tangan menyalahkan DPRD PAW kemarin yang dianggap meloloskan sejumlah proyek mercusuar dalam KUA PPAS 2020, terlebih ada 9 Alumni DPRD PAW yang saat ini meneruskan Magangnya menjadi Anggota DPRD Penuh Waktu di Periode 2019-2024.

Menurut saya, sejatinya DPRD adalah Lembaga Negara yang merupakan representasi perwakilan dari Partai Politik yang terpilih berdasarkan kursi yang diperoleh, sehingga sikap, pendapat, kritik dan kebijakan Fraksi dan anggota DPRD secara pribadi merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan Partainya, maka melihat kebijakan dalam lingkup DPRD tidak bisa secara parsial melainkan harus utuh dan berkelanjutan, sebagai bagian dari tanggungjawab Partai Politik yang memiliki perwakilan di DPRD, baik itu periode kemarin, periode saat ini maupun yang akan datang.

Kebijakan pembahasan anggaran tentunya harus mengacu pada regulasi yang mengatur, UU No.23 Tahun 2014, PP 12 Tahun 2019 dan Permendagri 33 Tahun 2019, tidak lupa harus linear dengan RPJP dan RPJMD Kota Malang sebagai Ruh Arah Pembangunan Kota Malang. Menilik definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan UU 23 Tahun 2014 Pasal 1 adalah Eksekutif dan Legislatif, sehingga pembahasan kebijakan yang menyangkut anggaran seperti KUA PPAS, PAPBD maupun RAPBD tentunya merupakan kesepakatan bersama antara Pemkot Malang dengan DPRD Kota Malang, melalui forum di Alat Kelengkapan Dewan yang ada dan melalui kebijakan Fraksi yang merupakan representasi dari Partai Politik. Sehingga perdebatan terkait rencana kebijakan anggaran, baik itu kritik, koreksi dan saran masukan tentunya dapat dimufakatkan melalui forum-forum tersebut, tentunya juga dengan membuka keran keterbukaan seluas-luasnya, memfasilitasi aspirasi dari masyarakat dan kelompok-kelompok kepentingan yang ada.

Kami paham, menjadi DPRD itu tidak mudah, karena dibutuhkan kecakapan pengetahuan, kecukupan pikiran, kelihaian berkomunikasi dan kemampuan dalam menghadapi tekanan-tekanan publik. Meskipun kita pun tahu, politisi paling senang berselancar dengan sesuatu yang kontroversi dan berpolemik, namun kedewasaan berpolitik saya kira tetap harus dikedepankan. Karena dalam kamus pemerintahan daerah, tidak dikenal namanya OPOSISI, sehingga sikap Asal Beda, Asal Tolak, Asal Bunyi apalagi Asal Selfi sudah waktunya dihilangkan.

*) Dito Arief Nurakhmadi, Alumni Magang Tugu 1A