MALANGVOICE – Transportasi daring (dalam jaringan/online) mulai populer semenjak Uber berdiri. Banyak perusahaan transportasi daring yang muncul setelah itu. Indonesia khususnya Malang juga tidak ketinggalan dengan munculnya Gojek dan Grab. Namun, kemunculan transportasi berbasis online ternyata menimbulkan banyak polemik.
Sopir angkutan konvesional (angkot), pun menuntut agar transportasi berbasis aplikasi online segera ditutup karena sejak transportasi online beroperasi, penghasilan mereka menurun drastis.
Sebut saja Budi (47), pria yang asal Mergosono yang sehari-hari menjadi sopir angkot ini kesal lantaran penghasilan sehari-hari kini berkisar Rp 20-25 ribu saja. Bahkan, dia mengaku sering ‘tekor’.
“Dulu (sebelum ada transportasi online), tiap Sabtu-Minggu itu selalu ramai di sekitar Corjesu ada yang ngangkot. Kalau sekarang gak ada sama sekali. Soalnya semua sudah naik grab itu. Lha kalau grab kan langsung jemput ke gang ke dalam itu,” tukasnya kepada MVoice.
Bahkan, Budi mengaku, dalam sehari Budi hanya dapat 2-5 penumpang saking sepinya. Menurutnya semua penumpangnya kini beralih naik transportasi online yang jumlahnya sudah ribuan unit itu.
Dia berharap pemerintah bisa tegas dan memberikan keputusan. Budi pun mengaku mengikuti demo mogok operasi, Selasa (26/9) demi solidaritas. Hari itu pula, Budi pulang ke rumah tanpa penghasilan sepeser pun.
“Kita semua (sopir) ingin hasilnya keputusan dari pemerintah jelas. Kalau bisa yang (transportasi) online-online itu tutup saja,” tandasnya.
Begitu pula salah seorang sopir angkot ADL, sebut saja Supriono (47). Dia mengaku pendapatan utamanya bertumpu pada penumpang seperti siswa sekolah, ibu-ibu, lansia, dan sesekali mahasiswa meski jarang.
“Lha kalau siswa kan jarang toh, mbak. Sekarang semua pilih transportasi online karena murah. Enak, nyaman, adem. Ya jelas angkot kalah sama mereka mbak,” keluhnya.(Der/Ak)