MALANGVOICE – Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur 2017 bertema Menuju 72 Tahun Indonesia Merdeka, Wilayah Kelola Rakyat Masih Terjajah, 11-13 Agustus, di Kota Batu usai sudah. Namun, dari agenda tahunan itu, Walhi Jatim memutuskan bersurat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lalu, apa isi surat tersebut?
“Kami mendorong KPK untuk melakukan penyelidikan atas kasus-kasus sumber daya alam di daerah yang berpotensi koruptif serta merampas ruang hidup dan wilayah kelola rakyat,” kata Direktur Eksekutif Daerah, Walhi Jatim, Rere Christanto.
Alasan hingga akhirnya bersurat kepada lembaga antirasuah itu tidak lain akibat peningkatan atau perkembangan pertambangan di sejumlah daerah di Jatim secara drastis.
Sektor pertambangan mineral misalnya. Data yang dihimpun melalui Korsup KPK (Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk Pertambangan Mineral dan Batubara menunjukkan bahwa per 29 Agustus 2016, jumlah IUP (Izin Usaha Pertambangan) di Jawa Timur mengalami penurunan bila dibanding data Kementerian ESDM di tahun 2012 yaitu dari 378 IUP di tahun 2012 menjadi 347 IUP di tahun 2016.
Namun, ada peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan. Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jawa Timur hanya 86.904 hektar, pada tahun 2016 tercatat luasan lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 551.649 hektar.
“Dengan mengacu angka dalam dua dokumen ini maka kenaikan jumlah lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 535% hanya dalam jangka waktu 4 tahun saja,” beber Rere.
Rere menambahkan, kemunculan izin-izin aktivitas usaha baik pertambangan, pariwisata maupun dalam kedok CSR yang merampas ruang publik dan Ruang Terbuka Hijau di Malang Raya patut diduga kuat beraroma korupsi.
“Izin-izin ini dikeluarkan dengan mudah padahal jelas-jelas melanggar aturan yang ada, disisi lain regulasi yang dikeluarkan untuk memuluskan gelontoran investasi juga terus bermunculan,” jelas alumnus Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya ini.
Karena itu, masih kata Rere, mendekati momen peringatan 72 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Walhi Jawa Timur mengingatkan, bahwa hingga sekarang eksistensi wilayah kelola rakyat masih terjajah dengan regulasi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Lalu gempuran investasi yang semakin mengancam keselamatan rakyat.
Menghadapi semakin memburuknya situasi ekologis, perampasan wilayah kelola rakyat, dan keselamatan ruang hidup sebagaimana terus terjadi di tahun 2017, maka Walhi Jawa Timur menuntut hal-hal sebagai berikut;
pertama, pemerintah, baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota, harus menghentikan dan mencabut regulasi-regulasi yang cenderung melanggengkan eksploitasi alam dan menyebabkan peningkatan konflik ekologis di daerah-daerah.
kedua, pemerintah, baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota, harus mengakui hak rakyat untuk menentukan pengelolaan lingkungan di wilayahnya yang sesuai karakter daerah dan daya dukung lingkungan masing-masing.
“Aparat penegak hukum juga harus berhenti melakukan tekanan dan kriminalisasi terhadap prakarsa-prakarsa masyarakat untuk menyelamatkan ruang hidupnya,” pungkas kelahiran Surabaya 34 tahun silam tersebut.