MALANGVOICE – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim menggelar Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) 2017 di Kota Batu, mulai 11-13 Agustus di area sumber mata air Umbul Gemulo, Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Dalam forum setahun sekali itu, mereka menyimpulkan masih besarnya potensi ancaman kelestarian ekologi.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim, Rere Christanto mengatakan, dalam pertemuan tahunan ini, Walhi Jawa Timur mencatat, berbagai ancaman ekologis masih menjadi momok bagi keselamatan wilayah di Provinsi Jawa Timur. Regulasi yang lebih condong berpihak kepada kepentingan investasi akan semakin mengakibatkan bertambahnya wilayah kelola rakyat yang dirampas atas nama pembangunan.
“Benturan antara kepentingan investasi yang semakin rakus lahan dan rakus air dengan masyarakat akan meningkatkan konflik sosial dan pelanggaran hak masyarakat,” kata biasa disapa Rere, ditemui MVoice, beberapa saat lalu, Minggu (13/8).
Pada wilayah Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik) misalnya. Konflik berbasis ruang, perampasan wilayah kelola rakyat, penggusuran dan pencemaran masih terus terjadi.
Berdasarkan data yang dihimpun Walhi Jatim, daerah lain juga bernasib sama. Pada wilayah Pesisir Selatan (wilayah selatan Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi) konflik ruang akibat masifnya investasi pertambangan mineral masih menjadi kendala utama penyelamatan ruang hidup rakyat.
Juga
pada wilayah Pantai Utara (Tuban, Bojonegoro, Lamongan) serta Madura dan Kepulauan terus mengalami perusakan akibat pertambangan karst (pabrik semen) dan investasi migas. Kemudian pada wilayah Mataraman (Madiun, Nganjuk, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Kediri, Blitar) masih juga mengalami konflik wilayah kelola rakyat dan berkurangnya kawasan produktif pertanian akibat alih fungsi lahan.
“Sedangkan pada wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Malang) perusakan mata air dan wilayah tangkapan air terus terjadi akibat ekspansi industri pariwista,” urainya.
Rere menambahkan, dorongan investasi industri ekstraktif maupun rezim pembangunan infrastruktur menjadi penanda utama mengapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah masih tidak memberi harapan akan perbaikan situasi lingkungan. Walhi Jawa Timur menemukan berbagai regulasi baik dari tingkat nasional hingga tingkat daerah yang bisa dianggap sebagai ancaman terhadap ekologi Jawa Timur.
“Setidaknya ada 69 regulasi yang dikategorikan sebagai ancaman terhadap keselamatan ekologi dengan rincian: 35 regulasi tingkat pusat, 3 regulasi tingkat provinsi, dan 31 regulasi tingkat daerah,” sambung dia.
Pelanggaran perizinan, masih kata Rere, yang kemudian menyebabkan krisis ekologi juga terjadi di Kota Batu. Dalam kasus pembangunan Hotel The Rayja di wilayah sumber mata air Umbul Gemulo ini contohnya. Akibatnya kemudian memicu gelombang penolakan warga. Pengeluaran izin hotel ini menabrak Perpres 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung dan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu yang menyatakan bahwa kawasan dalam radius 150 meter di seputar sumber mata air adalah kawasan lindung.
“Namun kemunculan kasus ini tidak menjadi pembelajaran bagi Pemerintah Kota Batu, yang ditunjukkan dengan masih dikeluarkannya izin-izin baru pembangunan hotel di Kota Batu yang berada dekat dengan sumber mata air,” sesalnya.