MALANGVOICE– Program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk pelajar di Kota Batu bergantung pada keamanan pangan yang disediakan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Aturan mewajibkan setiap dapur SPPG memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) sebagai jaminan standar kebersihan dan pencegahan keracunan. Namun, sembilan bulan setelah program berjalan, hanya satu dari belasan dapur yang berhasil meraih sertifikasi wajib tersebut.
Pemerintah Kota Batu menargetkan seluruh SPPG mengantongi SLHS paling lambat November lalu. Kenyataannya, hingga Desember, hanya SPPG Sulaiman Al Haj di Kelurahan Dadaprejo, Kecamatan Junrejo yang tercatat memiliki sertifikat layak tersebut. Padahal, dari total 19 dapur yang mengajukan, enam di antaranya belum beroperasi, sehingga hanya 13 dapur aktif yang seharusnya diproses.
Lapas Kelas I Malang Usulkan Remisi Natal 2025 untuk 54 Warga Binaan
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu Aditya Prasaja mengakui capaian tersebut masih jauh dari target awal. Meski begitu, ia tetap mengapresiasi satu dapur yang berhasil menuntaskan seluruh tahapan sertifikasi.
“Akhirnya satu SPPG pecah telur, sudah mengantongi SLHS. Harapannya ini bisa menjadi pemicu bagi dapur-dapur SPPG lainnya untuk segera menyusul,” ujar Aditya.
Tenaga Sanitasi Lingkungan Ahli Muda Dinkes Kota Batu, Esty Setya Windari menjelaskan, bahwa proses sertifikasi SLHS tidak bisa dilakukan secara instan. Setiap dapur wajib melewati serangkaian tahapan Inspeksi Kesehatan Lingkungan (IKL) hingga uji laboratorium yang berlapis.
Tahapan tersebut mencakup pemeriksaan sampel makanan, alat masak, kualitas air bersih, hingga pemeriksaan kesehatan penjamah makanan. Tak hanya itu, para penjamah juga wajib mengantongi sertifikat resmi sesuai ketentuan.
“Semua tahapan itu harus dilalui. Tujuannya agar hasil penilaian benar-benar kredibel dan sesuai standar keamanan pangan,” terang Esty.
Masalahnya, dalam asesmen awal, sebagian besar dapur belum mampu mencapai nilai ambang batas minimal 80. Kondisi tersebut membuat proses sertifikasi harus diulang dari awal, sesuai prosedur yang berlaku.
Kendala lain yang tak kalah krusial adalah lamanya proses uji laboratorium. Seluruh sampel dari dapur SPPG Kota Batu harus dikirim ke laboratorium di Kabupaten Malang. Di sisi lain, ratusan dapur SPPG di wilayah tersebut juga mengantre pemeriksaan serupa.
“Antrean sampel cukup panjang. Ini otomatis membuat waktu tunggu menjadi lebih lama,” imbuh Esty.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa kecepatan terbitnya SLHS sepenuhnya bergantung pada kesiapan masing-masing dapur dalam memenuhi persyaratan administrasi maupun teknis. Dinkes, kata dia, terus melakukan pendampingan dan percepatan, namun tetap berpegang pada prosedur.
“Kami terus mengakselerasi pendampingan. Tapi tahapan tidak bisa dipotong,” tegasnya.
Selama sertifikat belum terbit, Dinkes memastikan pengawasan tetap dilakukan secara ketat di seluruh dapur SPPG. Pemantauan dilakukan mulai dari proses pengolahan hingga penyajian makanan, guna menjamin keamanan pangan yang didistribusikan kepada masyarakat.
Sementara itu, Kepala Dapur SPPG Sulaiman Al Haj, Darma membenarkan bahwa proses penerbitan SLHS membutuhkan waktu dan konsistensi tinggi. Ia mengungkapkan pengajuan sertifikasi sudah dilakukan sejak September lalu.
“Hampir tiga bulan kami menjalani inspeksi dan uji laboratorium sampai akhirnya SLHS terbit. Prosesnya panjang, tapi memang harus dilalui,” pungkasnya.(der)