MALANGVOICE– Realisasi retribusi parkir tepi jalan masih terhimpun Rp1,5 miliar. Capaian tersebut masih jauh dari target yang dipatok Rp7 miliar di tahun 2025. Dishub Kita Batu mengklaim faktor tersebut dipengaruhi oleh faktor kebocoran imbas pelaporan yang belum optimal.
Kepala Dishub Kota Batu, Hendry Suseno, tak menampik bahwa capaian itu masih jauh dari potensi riil di lapangan. Menurutnya, persoalan utama terletak pada pelaporan parkir yang belum maksimal. Pendapatan definitif yang seharusnya masuk PAD melalui sistem bagi hasil masih sangat kecil karena manipulasi data pendapatan di sejumlah titik.
Tuntaskan Jaringan Elektrifikasi untuk Fungsikan Palang Pintu Parkir Elektronik
“Baru Rp1,5 M. Semoga bisa tembus Rp2 M hingga tutup tahun nanti,” ujarnya.
Meski Pemkot Batu memperhitungkan potensi hingga Rp 7 miliar, Dishub memasang target internal yang lebih realistis, yakni Rp3 miliar per tahun. Itu mengacu pada realisasi tahun sebelumnya yang juga tidak mencapai target potensial.
Hendry mengakui, tata kelola parkir di Kota Batu masih menghadapi sejumlah persoalan klasik. Mulai dari ketidakjujuran sebagian juru parkir (jukir) hingga permainan laporan yang menyimpang dari besaran pendapatan sebenarnya.
“Misalnya, potensi hari itu bisa Rp200 ribu, tapi setoran karcisnya hanya Rp50 ribu. Ini yang masih kami temukan,” bebernya.
Rendahnya realisasi retribusi parkir di Kota Batu bukanlah cerita baru. Data historis menunjukkan pola yang konsisten selama bertahun-tahun. Pada tahun 2022, target Rp10 miliar, realisasi hanya Rp1 miliar. Berikutnya tahun 2023 ditarget Rp9,4 miliar, namun realisasi Rp1,3 miliar. Dan tahun 2024, ditarget Rp9,5 miliar, terealisasi Rp 1,68 miliar.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan upaya perbaikan yang pernah digaungkan sebelumnya. Pada 2020, Pemkot Batu melalui Perda Nomor 3 Tahun 2020 berupaya membenahi sistem dengan mewajibkan penyetoran retribusi ke rekening bank dan menerapkan sistem parkir berlangganan untuk mencegah kebocoran. Saat itu, target pun dinaikkan signifikan dari Rp 600 juta menjadi Rp 8,5 miliar. Namun, hasilnya belum optimal.
Padahal, skema bagi hasil sudah cukup menguntungkan jukir. Dari pendapatan harian, 60 persen menjadi hak jukir dan 40 persen masuk ke kas daerah. Selain laporan yang tidak sesuai, Dishub juga menemukan beberapa praktik pungutan liar (pungli) yang menyimpang dari Perda Kota Batu Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Parkir di Tepian Jalan Umum.
Di antaranya tarif yang tidak sesuai aturan hingga jukir yang tidak memberikan karcis kepada pemilik kendaraan. Penertiban lewat Binwaskir (Pembinaan, Pengawasan dan Penertiban Parkir) terus dilakukan. Sanksinya mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, tipiring, hingga pencabutan Kartu Tanda Anggota (KTA) bagi jukir yang tetap membandel.
“Kalau masih berulah, KTA-nya kami cabut. Artinya mereka tidak bisa bekerja lagi sebagai jukir,” tegas Hendry.
Hendry juga mengajak pemilik kendaraan untuk proaktif melapor jika mendapati jukir melakukan penyimpangan. Dishub Kota Batu, kata dia, menyediakan pos pengaduan dan menjamin keamanan pelapor.
“Kami pastikan pelapor aman, tidak perlu khawatir intimidasi dari oknum,” tuturnya.
Untuk memutus mata rantai kebocoran, Dishub kini mengandalkan solusi teknologi. Salah satu terobosan yang sedang diujicobakan adalah penerapan sistem gate (portal) parkir di kawasan Alun-Alun Kota Batu. Sistem ini diharapkan mampu mencatat kendaraan yang masuk dan keluar secara otomatis, sehingga pendapatan harian dapat terpantau dengan lebih akurat dan mengurangi ruang manipulasi. Uji coba di akhir pekan bahkan menunjukkan potensi pendapatan yang besar, mencapai Rp8 juta dalam sehari.
Namun, penerapan sistem baru tidak lepas dari gejolak. Sejumlah jukir mengeluhkan pendapatan mereka yang dinilai terlalu rendah. Seorang jukir di Alun-Alun mengaku hanya menerima sekitar Rp2,5 juta per bulan, di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Batu yang sebesar Rp3,3 juta. Keluhan ini menyiratkan tantangan lain, yaitu pentingnya memastikan kesejahteraan jukir agar insentif untuk berbuat tidak jujur dapat dikurangi.
Kesenjangan yang sangat lebar antara target potensial Rp7 miliar dan realisasi Rp1,5 miliar mengindikasikan bahwa masalah yang dihadapi Kota Batu bersifat sistemik, bukan sekadar pelanggaran individu. Pertama, sistem bagi hasil manual berbasis karcis sudah terbukti rentan disalahgunakan.
Kedua, pengawasan lapangan yang mengandalkan operasi rutin dan laporan masyarakat—meski terus dilakukan—ternyata belum cukup untuk menciptakan efek jera yang masif. Ketiga, terdapat kemungkinan ketidakseimbangan antara beban target pendapatan yang tinggi dengan kapasitas pengawasan dan kesejahteraan pelaku di lapangan (jukir).
Di sisi lain, Dishub terus mendorong sinergi antara jukir dan pemerintah. Sebagai kota wisata, wajah parkir di tepian jalan umum menjadi salah satu elemen penting kenyamanan wisatawan. Hendry berharap tata kelola parkir ke depan semakin baik. Bukan hanya untuk mengejar target pendapatan, tetapi juga menjaga citra Kota Batu sebagai kota wisata yang ramah, aman dan tertata.
“Estetika dan kerapian parkir itu sangat penting. Jika tertib dan jujur, wisatawan nyaman. Dampaknya nanti kembali ke PAD juga,” sebutnya.(der)