MALANGVOICE– Pemkot Batu terus berbenah untuk meningkatkan layanan dasar masyarakat. Upaya prioritas tersebut ditempuh melalui usulan pembentukan tiga raperda strategis yang dibahas eksekutif dan legislatif.
Tiga raperda yang diusulkan meliputi perubahan Perda Kota Batu nomor 4 tahun 2020 tentang penyediaan, penyerahan dan pengelolaan PSU. Serta dua raperda baru tentang tata kelola desa dan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
Wali Kota Batu, Nurochman menegaskan, tiga raperda tersebut diyakini memiliki dampak langsung terhadap kualitas pelayanan publik. Hal itu disampaikan Cak Nur-sapaan Nurochman- saat rapat paripurna dengan agenda jawaban wali kota atas pandangan umum gabungan fraksi-fraksi DPRD Kota Batu beberapa hari lalu.
Polresta Malang Kota Dapat 10 Piagam Penghargaan dari TRC Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia
Dalam kesempatan itu, Cak Nur menjabarkan satu-satu per satu urgensi raperda tersebut. Pertama, Raperda Perubahan Perda Kota Batu nomor 4 tahun 2020 tentang penyediaan, penyerahan dan pengelolaan PSU. Legislasi daerah ini ditujukan untuk menutup celah yang selama ini menyebabkan ketidakjelasan penyerahan dan pengelolaan fasilitas publik.
“PSU adalah layanan dasar yang digunakan warga setiap hari. Kualitas PSU menentukan kenyamanan hidup warga. Jalan lingkungan, drainase, hingga ruang terbuka harus memenuhi standar. Tidak boleh setengah-setengah,” katanya.
Berikutnya mengenai Raperda Tata Kelola Desa. Cak Nur menuturkan, pemerintahan desa adalah ujung tombak pembangunan. Maka perlu ada penguatan regulasi agar masyarakat desa memiliki ruang yang lebih leluasa untuk membangun dan memajukan desanya sesuai kebutuhan dan karakteristiknya. Sehingga diharapkan dapat mengurangi disparitas demi terwujudnya pembangunan yang berkeadilan dan inklusif
“Desa memegang peran kunci dalam akses layanan paling dekat dengan warga. Karena itu, regulasi baru harus menghadirkan kepastian kewenangan dan peningkatan kapasitas aparatur. Jika layanan dasar ingin cepat dan efektif, desa harus diperkuat. Regulasi ini harus memberdayakan, bukan membebani,” ujarnya.
Sementara Raperda Pelindungan Perempuan dan Anak menjawab kebutuhan layanan responsif dan terpadu. Raperda ini menjadi instrumen memutus dinamika sosial-budaya yang masih menormalisasi kekerasan, menghapus stigma terhadap korban, serta menekan budaya patriarki. Tentu disertai pula dengan memperkuat support system terdiri dari keluarga inti, lingkungan sekitar rumah klien, desa, sekolah, tempat kerja, dan/atau lingkungan sekitar klien berada.
Cak Nur menekankan pentingnya peningkatan kapasitas SDM, iinfrastruktur layanan, serta ketersediaan psikolog dan konselor agar regulasi ini berjalan efektif. Kokohnya peran antarlini menjadi unsur kunci dalam optimalisasi penanganan, pendampingan, pemulihan, hingga manajemen data kasus secara terpadu oleh UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak. Maka perlu diiringi pula dukungan anggaran dan optimalisasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sebagai sistem data terintegrasi untuk meningkatkan akuntabilitas.
“Warga harus merasa aman. Sistem perlindungan tidak boleh menunggu masalah membesar. Ia harus hadir cepat, profesional, dan berpihak pada korban. Maka ketiga Raperda dapat selesai dengan substansi yang kuat, terukur, dan berorientasi pada layanan publik. Kualitas regulasi akan menentukan kualitas pelayanan daerah di masa mendatang,” tegas Cak Nur.(der)