Pakar UB Ungkap Riset Etanol Bukan Hal Baru, Sudah Dimulai Sejak Era Habibie: Teruji Sejak 1980-an

MALANGVOICE– Penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) ternyata bukan hal baru di Indonesia. Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (UB), Prof. Wardana, mengungkapkan riset terkait hal itu sudah dilakukan sejak tahun 1980-an.

“Kalau gasohol (gasoline alcohol) itu tahun 80-an, ya. Jadi waktu itu kita dapat dana besar dari BPPT, dari Pak Habibie. Tujuannya untuk menguji etanol 20 persen yang dicampur ke bensin,” ujar Prof. Wardana dalam diskusi “Menakar Satu Tahun Kemandirian Energi: Janji dan Realisasi Pemerintahan Prabowo–Gibran” di Malang, Kamis (16/10).

Progres Masih 14 Persen, Wali Kota Malang Cek Langsung Proyek Drainase Jalan Soehat

Menurutnya, saat itu tim UB sudah mencampur etanol 20–30 persen ke dalam BBM, dan hasilnya terbukti aman. Riset tersebut bahkan mendapat dukungan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di bawah arahan B.J. Habibie.

“Waktu itu idenya Pak Habibie adalah mengganti bahan bakar dengan yang bersih, karena etanol itu bahan bakar yang bersih. Tapi karena harga BBM kita murah, programnya berhenti,” kata Wardana.

Kini, lanjutnya, kondisi sudah berubah. Harga BBM semakin tinggi dan ketergantungan impor meningkat, menjadikan biofuel kembali relevan untuk dikembangkan.

Selain itu, Wardana juga mengungkapkan hasil riset terbaru UB yang menunjukkan bahwa campuran etanol justru meningkatkan efisiensi dan kualitas pembakaran mesin.

“Menurut penelitian saya dengan mahasiswa S2, penambahan etanol meningkatkan kadar oktan. Jadi, kalau beli bahan bakar murah lalu dicampur etanol, kualitasnya bisa naik,” jelasnya.

Pemerintah kini tengah menyiapkan mandatori E10 (etanol 10%) untuk bensin dan B50 (biodiesel 50%) untuk solar pada 2026. Menurut Wardana, langkah ini berpotensi mengurangi impor minyak hingga 10–20 persen, karena sebagian besar BBM impor digunakan untuk transportasi.

“Dengan menaikkan campuran biofuel, impor bisa turun 10 sampai 20 persen,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi UB, Andhyka Muttaqin, S.AP., M.PA., menilai kebijakan biofuel merupakan bentuk nyata reformasi energi yang lebih ramah lingkungan dan efisien. Namun, ia menekankan pentingnya tahapan implementasi yang jelas.

“Kayak kebijakan elpiji 3 kg dulu, kan bagus. Tapi harus ada tahapan, biar masyarakat nggak kaget dan pemerintah nggak diserang,” ujarnya.

Menurutnya, komunikasi kebijakan yang baik akan membuat masyarakat memahami bahwa program E10 dan B50 bukan sekadar pencampuran bahan bakar, melainkan bagian dari strategi besar untuk menekan impor, menghemat devisa, dan memperluas energi terbarukan.

Dari sisi ekonomi, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang, Dr. Muhammad Sri Wahyudi Suliswanto, melihat program biofuel sebagai peluang besar bagi Indonesia membangun rantai pasok energi mandiri.

“Kalau dilihat di kuartal pertama, arah kemandirian energi sudah mulai terlihat. Meskipun butuh waktu, tapi progresnya jelas,” ujarnya.

Ia menambahkan, keterlibatan masyarakat dalam produksi bioetanol dari singkong dan tebu bisa membuka lapangan kerja baru dan mendorong pemerataan ekonomi.

“Ini bisa jadi instrumen pemerataan ekonomi sekaligus menekan ketergantungan pada impor migas,” kata Sri Wahyudi.

Para akademisi sepakat, kebijakan energi di bawah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia kini mulai berjalan di jalur yang realistis dan ilmiah — berbasis riset, bertahap dalam pelaksanaan, dan berpihak pada kemandirian nasional.

Dengan sinergi antara riset kampus dan kebijakan pemerintah, Indonesia diyakini mampu membangun ekosistem bioenergi yang kuat, bersih, dan menguntungkan bagi rakyat.(der)

Berita Terkini

Arikel Terkait