Afghanistan Gerbang Persekutuan Islam-Kristen? (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

Oleh: Anwar Hudijono

Apakah benar Rusia membantu Taliban dalam memenangi secara telak dan spektakuler atas Amerika plus NATO?

Untuk mendapat jawaban yang sahih tidak mudah. Sejauh ini tidak ada sikap resmi kedua belah pihak. Bahwa Rusia membantu Mujahidin Taliban masih sebatas dugaan. Tentu tidak asal duga menduga. Ada dukungan argumentasi politis dan fakta-fakta yang bisa ditafsirkan ke arah itu.

Misalnya, memang saat ini terjadi permusuhan antara Rusia dengan Amerika. Dalam politik berlaku kaidah “lawan musuhku adalah temanku”. Selama ini Rusia membantu musuh Amerika seperti Suriah, Venezuela, Cuba, Iran.

Indikator lain, terjadinya kontak-kontak intensif Taliban dengan Rusia menjelang kemenangan Taliban. Dukungan moral Rusia begitu Taliban kembali berkuasa. Seperti tidak melakukan evakuasi staf kedutaannya.

Tulisan ini berdasar asumsi bahwa Rusia memang membantu Taliban. Sekali lagi asumsi. Bukan kebenaran faktual yang sudah teruji.

Atas dasar asumsi itu saya melihat dukungan Rusia ke Taliban ini, insya Allah, sebagai awal persekutuan Islam-Kristen dalam perspektif nubuwat akhir zaman atau eskatologi Islam. Alasannya, pertama, peristiwa ini terjadi di Afghanistan. Yang merupakan jantung kawasan Khurosan. Dalam peta geografi kuno yang begitu penting dalam geopolitik akhir zaman, di kawasan ini akan keluar Dajjal, dan keluar pula Pasukan Imam Mahdi. Semacam garis start yang penyelesaian finalnya di Yerusalem.

Kedua, merujuk Hadits bahwa di akhir zaman akan terjadi persekutuan Islam dengan Kristen melawan musuh secara bersama. Pakar eskatologi Islam Syekh Imran Hossein melihat bahwa golongan yang akan bersekutu dengan Islam itu adalah Kristen Ortodoks. Nah, representasi Kristen Ortodoks saat ini adalah Rusia.

Ketiga, sejak awal perang di Afghanistan ini ada nuansa apostle atau nubuwat keagamaan. Ingat, sesaat WTC dibom tanggal 11 September 2001, Presiden Amerika George W Bush langsung mendeklarasikan perang melawan terorisme yang akan menjadi perang salib kedua.

Perang salib adalah perang berjargon keagamaan Kristen Katolik melawan kelompok Islam. Merujuk pandangan Jonathan Black dalam bukunya yang termasyhur, The Secret History of The World, perang salib juga menyasar dari Katolik kepada kelompok Kristen Ortodoks. Sementara jantung Kristen Ortodoks yang dulu di Konstantinopel (sekarang Istanbul, Turki) kini berada di Rusia. Dalam konteks ini bisa memperkuat tesis Syekh Imran Hossein tersebut.

Saling melindungi

Maka, perang di Afghanistan, saya kira tidak berlebihan, jika menggunakan perspektif Quran Surah Al Maidah.

Kita mulai dengan Al Maidah 51.
“Wahai orang-orang beriman. Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (mu). Mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.”

Dilanjutkan dengan ayat 52:
“Maka, kamu akan melihat orang-orang yang hatinya berpenyakit segera mendekati mereka, seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan, atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya, sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”

Ayat di atas menegaskan tentang kelompok atau golongan tertentu, baik di Yahudi, Kristen maupun Islam. Tidak dialamatkan untuk semua umat dalam ketiga agama. Nah, dalam kasus Afghanistan, mengikuti alur pemikiran Syekh Imran Hossein bahwa NATO dan Amerika adalah representasi zionisme yang merupakan koalisi atau persekutuan kelompok tertentu di Yahudi dan Kristen.

Produk persekutuan ketiga kelompok ini bisa dibaca dengan perspektif ayat 57.
“Wahai orang-orang beriman. Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir (orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.”

Memang yang menjadi penguasa adalah kelompok orang Islam. Tapi sebenarnya hanya sebatas “seolah berkuasa”. Sekadar wayang “mati” yang digerakkan. Penggeraknya tetap “invisible hand” atau dalang. Maka tidak perlu heran, ketika dalangnya kabur, wayangnya masuk kotak. Layaknya kacang panjang dipisah dari lanjarannya.

Di dalam persekutuan semacam itu, kalau dicermati ayat di atas sebenarnya unsur kelompok Islam hanya sebatas pelengkap penyerta. Bahkan pelengkap penderita. Dalam istilah pewayangan sebatas bolo dupak. Dalam film disebut figuran. Tidak masuk dalam elite strategis.

Karena status hanya bolo dupak, seandainya ada endum-enduman (bagi hasil), hanya sebatas mendapat recehan. Kalau yang dibagi tumpeng, hanya mendapat gogrokan. Tapi jika ada sakitnya, kelompok bolo dupak inilah yang justru paling remuk. Kalau di film action, mereka ini berperan sebagai figuran yang digebuki, diinjak-injak, dan mati. (Bersambung)

Astaghfirullah. Rabbi a’lam (Tuhan lebih tahu)

Anwar Hudijono,
penulis tinggal di Sidoarjo.
30 Agustus 2021

spot_img

Berita Terkini

Arikel Terkait