Kepunahan Kejayaan Apel Tidak Dicemaskan Dispertan Kota Batu

Petani Apel menunjukan apelnya yang terkena mata ayam (Aan)

MALANGVOICE – Dinas Pertanian (Dispertan) Kota Batu tak memiliki kecemasan sama sekali akan punahnya kejayaan apel di Kota Batu. Hal itu berbeda dengan para petani apel di Kota Batu yang selama tiga tahun ini merugi akibat penyakit mata ayam.

Mereka telah kehilangan akal bagaimana caranya agar dapat membasmi penyakit tersebut. Hingga mencapai titik putus asa dan memutuskan untuk beralih ke jeruk.

Tidak adanya kecemasan itu dilandasi konsep perbaikan apel yang dimiliki oleh Dispertan juga kerjasama yang akan dijalin dengan pemerintah pusat.

Namun, Kepala Dispertan Sugeng Pramono mengatakan bahwa dirinya mengetahui penurunan kualitas dan kuantitas produksi apel di Kota Batu dari tahun ke tahun. Penurunan ini sudah dimulai sejak tahun 1996.

“Kalau awal dulunya bisa 30 ton sampai 40 ton per hektar, sekarang tidak bisa. Paling banyak 10 ton sampai 15 ton,” jelasnya. Ia mengatakan penyebab turunnya apel ini dikarenakan iklim dan nutrisi tanah di Kota Batu yang sudah tidak subur.

Dalam menangani hal ini, Dispertan pernah melakukan penyemprotan dan memendam apel yang terkena mata ayam. Kegiatan ini dipimpin oleh Wakil Walikota Batu Punjul Santoso.

Namun Sugeng tidak dapat menjelaskan secara gamblang apakah langkah itu efektif atau tidak. Ia mengatakan bahwa penyakit mata ayam ini adalah penyakit musiman yang selalu ada ketika musim hujan.

Ia menambahkan bahwa seharusnya petani apel Kota Batu mengetahui cara menghadali penyakit ini. Lantaran mereka sudah berpengalaman selama bertahun-tahun.

Sugeng mengatakan bahwa kegagalan panen ini disebabkan pemanasan global, perubahan iklim, perubahan suhu dan lain-lain. Namun ia tidak menyinggung permasalahan mata ayam yang dikeluhkan petani apel.

Sugeng lebih lanjut menjelaskan ada kesalahan sistem perawatan yang dilakukan petani apel.

“Gagalnya peningkatan produksi panen juga karena petani tidak memiliki manajemen pengelolaan lahan yang baik. Akibatnya, pengelolaan lahan tidak maksimal sehingga produksi apel ikut berimbas. Terutama soal kadar nutrisi tanah,” jelasnya.

Ditambah lagi apel yang terkena penyakit dibiarkan bergeletakan sehingga rawan terjadi penularan penyakit. Ia mengatakan harusnya apel-apel yang terjangkit penyakit dikubur dan diberi larutan dekomposer agar tidak menular.

“Jika ditarik ke belakang pada 20 tahun lalu, ini kan memang apa yang didapat petani tidak dimasukkan lagi sebagai input. Artinya pemeliharaannya kurang diperhatikan oleh mereka, akibatnya lima tahun belakangan ini jadi masalah,” tandas Sugeng.(der)