MALANGVOICE – Berdasarkan perundingan dengan Abdul Rachman (Tatsuo Ichiki) penasehat TKR di Yogyakarta, Juli 1948, Kolonel Sungkono menginstruksikan kepada semua anggota kesatuan di bawah pimpinannya untuk mengumpulkan orang-orang Jepang, yang sedang berada di kesatuannya masing-masing di Jawa Timur untuk ditarik dan dijadikan satu kesatuan dengan tujuan bersama melawan Belanda. Tidak lama terkumpul 28 orang Jepang di Wlingi Blitar.
Di Wlingi, atas inisiatif Arif (T. Yoshizumi) dan Abdul Rachman (Tatsuo Ichiki) dibentuklah Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) yang dikomandani oleh Brigade Surachmad. Di sini, pasukan berlatih militer dan strategi gerilya secara mandiri dan mengusahakan makanan sendiri. Pada Agustus 1948, persiapan telah mantap, pasukan disebar, Komandan (WK) dengan 17 pasukan PGI menuju Dampit. Harsono (T. Tanimoto) dengan anggota 11 orang bertugas menuju Kediri.
Di Dampit mereka memasuki perkebunan dan menggunakan bekas kantor perkebunan Kartodol sebagai tempat untuk antara lain: merencanakan penyerangan pos-pos Belanda, membuat barang dan bahan perang rahasia untuk kepentingan sabotase, menyusun jaringan informasi, dan membentuk gerilya rakyat. Dalam perkembangannya, PGI ini kemudian mendapatkan tambahan 2 (dua) regu dari Brigade XIII.
Pada 30 Agustus 1948, pukul 24.00, PGI bersiap menyerbu pos Belanda di Pajaran yang memilik kekuatan satu seksi dan menempati gudang padi yang dipagari kawat berduri. Waktu itu kampung Pajaran suasananya terang penuh lampu minyak di kanan-kiri jalan karena sedang memeriahkan perayaan ulang tahun Ratu Belanda. Keadaan ini sangat menguntungkan PGI untuk menyerang. Kode ledakan dua bulu granat di atas pos Belanda member isyarat dimulainya penyerangan. Begitu gencarnya serangan, tetapi dari dalam pos tidak ada perlawanan sama sekali. Ketika terdengar tembakan dari arah depan pos, penyerangan dihentikan karena diduga ada pasukan bantuan Belanda yang baru datang dari pos Wajak. Esoknya diperoleh informasi, ternyata perlawanan Belanda malam itu bukan pasukan bantuan dari Wajak, tetapi tentara Belanda sejumlah 10 orang yang kebetulan baru pulang dari undangan Kepala Desa dalam rangka selamatan perayaan hari besar Belanda. Saat PGI menyerang, mereka tidak berani kembali ke pos yang sudah hancur dan hanya berjaga-jaga di halaman rumah Kepala Desa. Mereka juga tidak mengetahui siapa yang melakukan serangan.
Menurut laporan dari pasukan Brigade XII yang ditugaskan untuk memeriksa hasil serangan, pos Belanda hancur lebur, tiga orang petugas jaga bersenjata 12.7 mm mati tertembak, dan di dalam pos/gudang padi 20 orang Belanda tewas akibat reruntuhan bagunan dan ledakan granat.
Di Tumpang, PGI kembali menyerang pos Belanda pada 3 Oktober 1948. Serangan gerilya ini dibantu rakyat dengan penyerangan intensif, menggunakan bahan peledak, dan aksi pembakaran-pembakaran. Hasilnya, terbakarnya asrama musuh dan tiga serdadu Belanda tewas. Moril rakyat pun kembali menguat.
Di pertengahan Desember 1948, Belanda mengawali penyerangan dengan menggunakan pesawat-pesawat tempur melintas Malang menuju ke selatan, menyerang Turen dan Sedayu. Ketika dipastikan Turen dan Sedayu sudah diduduki musuh, PGI pun menyusun kekuatan dipimpin oleh Subejo (Hayashi) dan Sobana (T. Sakai) dan merencanakan menghancurkan panser-panser Belanda. Mereka memasang ranjau di jalan antara Wajak dan Turen yang selalu dilewati pasukan Belanda, sedangkan pasukan senapan mesin diberangkatkan menuju lokasi pertahanan yang telah direncanakan. Didapat informasi, Belanda menambah pasukan dengan satu kompi serdadu bersenjata lengkap untuk menghancurkan PGI.
Sementara menunggu hasil ranjau yang dipasang, PGI dan pasukan bantuan lainnya bersiaga di rumah Asisten Wedono. Ketika ledakan pertama terdengar, ternyata mengenai seorang pemikul kelapa yang sedang lewat. Pukul 06.30 pagi terdengar ledakan kedua, seorang prajurit melaporkan bahwa ranjau berhasil mengenai sasaran, yakni panser Belanda dan truk pengiring di belakangnya. Sebanyak 16 orang serdadu Belanda tewas. Dari pos Turen, Belanda segera memberikan pertolongan sembari melakukan penembakan membabi buta di sekitar lokasi kejadian.Â(dur)