MALANGVOICE – Situasi yang terjadi di lini-waktu sepanjang perang kemerdekaan nampaknya dimanfaatkan oleh Belanda untuk kembali melakukan Agresi Militer II. Suhu politik meningkat saat terjadinya Peristiwa Madiun 1948 (Madiun Affair), kemudian Tan Malaka dengan ‘Kawi Pact” di daerah Malang Selatan, belum lagi FDR-nya Amir Syarifuddin, serta gerakan anasir-anasir pemberontakan PKI Madiun di Donomulyo (Malang Selatan) dan di wilayah lainnya. Padahal di Jawa Timur sebagian pasukan RI bertugas di daerah status-quo dan sedang melaksanakan konsolidasi seusai Agresi Belanda I.
Pemerintah RI segera bertindak dengan cepat menjadikan Jawa Timur sebagai daerah istimewa dengan mengangkat Kolonel Soengkono sebagai gubernur militer. Saat itu Panglima Besar Jenderal Soedirman sedang sakit, sehingga untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan dikomando oleh A.H. Nasution sebagai Panglima Merkas Besar Komando Djawa.
Kecepatan gerak oleh Combat Inteligence dilakukan untuk menangkal upaya-upaya penyebaran pengkhianatan. Di daerah Kepanjen, atas perintah Mayor Soedjanudji, Pranowo Hadiwidjojo dan pasukannya berhasil menangkap kurir dari Madiun yang akan menyampaikan pesan surat berasal dari pimpinan PKI Yogyakarta yang tertuju pada badan perjuangan tertentu di daerah Malang Selatan.
Dalam menyebarluaskan ideologinya, PKI tidak hanya mempengaruhi rakyat setempat, tapi disertai konsolidasi kekuatan militer. Di Donomulyo didirikan sebuah batalyon khusus pertahanan yang dipimpin oleh Tjokro Bagong yang disebut Batalyon Dji’in. Mereka juga melakukan intimidasi, sabotase, dan penyiksaan, seperti yang dialami oleh Hardjo Prajitno sinder persil Kali Telo yang sempat dikubur hidup-hidup, tetapi sempat diselamatkan.
Untuk melaksanakan tugas penumpasan ini, Brigade IV berkedudukan di Sedayu dibawah pimpinan Letkol Abdoel Rifai. Mobat I yang dipimpin Mayor Hamid Rusdi dari Turen menuju Bantur dan berjalan kaki ke Sumbermanjing Kulon. Dari siini, berangkat Seksi-2 Slamet Hardjoeoetomo dan Seksi-3 Tjokro Hadi dan berhasil merebut Donomulyo. Dibantu Kompi Depo Kapten Nailun Hamam yang kemudian datang, mereka melakukan pembersihan di Donomulyo, Kalitelo, Tumpakrejo, dan Telogosari. Seksi-3 bertugas melakukan pembersihan di desa-desa gunung Malang, Jolosutro dan sekitarnya.
Di saat yang sama, Kompi I Sulam Samsun dikirim ke Cepu untuk membantu pasukan lainnya dalam Peristiwa Madiun dan bertugas menguasai instalasi-instalasi minyak di Cepu. Kompi 2 Sabar Soetopo melakukan penumpasan di sekitar Turen-Dampit. Kompi Depo Kapten Nailun bergerak dari Wonosari, Pagak,Tumpakrejo diperkuat Kompi Polisi (MB Polisi).
Gejolak di Donomulyo pada akhirnya dapat ditumpas oleh kesatuan-kesatuan dari Hamid Rusdi dan Wachman, dan pasukan dari Kompi Suyono. Mereka digrebeg sewaktu mengadakan rapat massa di persil Kali Telo dipimpin Tjokro Bagong yang bertujuan mempersiapkan penyambutan terhadap rencana kudeta di Madiun. Batalyon Dji’in berhasil dilucuti oleh Mayor Hamid Rusdi. Tjokro Bagong tertangkap di di daerah hutan Jolosutro, lalu dibawa ke Talangagung dan dipindahkan ke Turen, sementara anasir PKI lainnya melarikan diri ke Blitar Selatan.
Operasi di Donomulyo berjalan lancar berkat bantuan masyarakat. Pemeriksaan terhadap penduduk dilakukan di daerah basis PKI. Orang-orang PKI yang dianggap kelas ringan dibawa ke tempat tahanan di Suwaru,Gondanglegi, dan yang dianggap kelas berat dan membahayakan bangsa di tahan di daerah Petung Ombo, persil kopi di daerah Dampit.
Tugas penumpasan anasir-anasir PKI di Malang Selatan telah ditunaikan. Cobaan dan tantangan belum selesai. Pasukan RI kembali berkonsolidasi, menyatukan kembali semangat dan memusatkan perhatian untuk kembali menghadapi pasukan Belanda. (idur)