18 Siswa SMPN di Kepanjen “Dionani” Guru BK

Ilustrasi. (Anja)
Ilustrasi. (Anja)

MALANGVOICE – Dunia pendidikan di Kabupaten Malang kembali tercoreng akibat ulah salah satu guru tidak tetap (GTT) yang mengajar di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negri di Kepanjen.

Guru honorer atau GTT tersebut diketahui berinisial CH, yang tega berbuat tidak senonoh pada belasan siswa dengan cara onani.

Berdasarkan informasi yang diperoleh, perbuatan CH ini terjadi sekitar setahun lalu. Berdasarkan sumber, ada 18 siswa yang menjadi korbannya. Sekarang ini, para siswa yang menjadi korban duduk di kelas IX.

Pelaku CH tersebut melakukan dengan cara memanggil siswa tersebut secara satu per-satu di ruang Bimbingan Konseling (BK). Kebetulan di sekolah itu, CH adalah seorang guru BK. Saat di ruangannya, CH, warga Desa Kedung Pedaringan, Kepanjen itu, meminta tolong pada korban untuk mengeluarkan sperma korban dengan alasan untuk penelitian guna keperluan lanjutan pendidikan S3.

Sebelum melakukan pelecehan, CH meminta kesediaan korban tanpa menjelaskan apa yang akan dilakukan, jika sudah mau dan bersedia, korban disumpah dengan Alquran, lalu CH ini mengatakan penelitiannya.

Para korban tidak bisa berbuat apa-apa, karena telah disumpah hanya pasrah. Kemudian CH menutup pintu dan selambu ruang BK. Selanjutnya melepas celana siswa, yang kemudian mengocok kelamin siswa hingga mengeluarkan sperma. Atas kejadian ini, pihak sekolah lantas memberhentikan CH, pada Sabtu (30/11).

Menanggapi hal tersebut, Kasatreskrim Polres Malang, AKP Tiksnarto Andaru Rahutomo mengatakan, pihaknya langsung melakukan penyelidikan dan sudah meminta keterangan beberapa saksi, termasuk mengumpulkan barang bukti.

“Sudah kami terima laporannya dan sudah ditindaklanjuti. Sekarang ini, kami masih menyelidiki keberadaan pelakunya,” tegasnya.

Terpisah, Ketua Umum (Ketum) Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait, mengatakan bahwa perbuatan pelecehan yang dilakukan oleh CH, adalah kejahatan luar biasa. Sehingga tidak ada alasan penegak hukum, untuk tidak segera menangkap dan menahan pelakunya.

“Bersesuaian dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang penerapan Perpu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 yang perlindungan anak, Jonto Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002, maka guru terduga pelaku seksual yang korbannya lebih dari 5 siswa, tidak ada alasan pihak kepolisian untuk menangkap dan menahan pelakunya,” jelasnya

Bahkan berdasarkan undang-undang yang dijeratkan tersebut, lanjut Sirait, komnas Perlindungan Anak Indonesia, merekomendasi penegak hukum untuk memutus hukuman terhadap pelaku maksimal 20 tahun penjara. Kalau perlu juga ditambah hukuman kebiri lewat suntik kimia.

“Penegak hukum atau Jaksa, harus bisa menuntut maksimal nantinya. Sehingga hakim bisa memberi putusan maksimal untuk keadilan bagi para korban. Alasannya, karena selain dilakukan seorang guru, juga dalam keadaan sadar bahwa korbannya adalah anak-anak,” tandasnya. (Hmz/ulm)