14 Kasus Kekerasan Anak Selama 2021, Lembaga Pendidikan Berbasis Asrama Perlu Dievaluasi

MALANGVOICE – Sepanjang 2021 terdapat 14 kasus anak yang menyeret 23 anak sebagai korban. Hal itu berdasarkan data yang dirangkum Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Batu.

Bahkan beberapa kasus yang menimpa anak terjadi di dua sekolah asrama di Kota Batu. Catatan itu mencoreng program sekolah ramah anak yang dicanangkan di Kota Batu sejak 2015.

Kasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) DP3AP2KB Kota Batu, Emy Yulianingrum, mengatakan, akan mengevaluasi sistem pendidikan di lembaga pendidikan berbasis asrama.

“Jadi dalam kasus ini memang butuh pendampingan ekstra dari sekolah karena berkaitan dengan efek traumatis korban anak dalam jangka waktu yang lama,” terang dia.

Sejauh ini, pihaknya masih sedang menyiapkan program ramah anak di sekolah-sekolah. Seperti di SD Ngaglik 1, SD Punten 1, SMPN 2, sekolah Muhammadiyah, SMA 1 dan MAN 1. Program ini belum sampai menyentuh ke Ponpes yang juga adalah lembaga pendidikan.

“Sekolah ramah anak adalah sekolah yang memenuhi hak-hak anak mulai dari proses tumbuh kembang, keberlangsungan hidup, perlindungan hingga partisipasi anak,” kata dia.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina berpendapat lembaga pendidikan dituntut mutlak menjamin masa depan anak. Sehingga lingkungan sekolah dapat membentuk iklim yang aman dan nyaman seiring dengan masa tumbuh kembang anak.

“Untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman, maka harus siap semuanya. Mulai kebijakan, SDM, dan infrastrukturnya. Mulai dari tukang sapu sampai kepala sekolahnya. Itu sudah harus siap sebelum menerima siswa. Sehingga dari awal mereka tahu memberikan perlindungan kepada anak didiknya,” katanya,

KPAI juga mengatakan agar lembaga pendidikan terbuka sehingga pihak-pihak terkait dapat memantau tumbuh kembang anak di sekolah yang berasrama. Keterbukaan sekolah juga sangat penting sehingga masukan dari pihak luar bisa ditampung.

“Manajemennya yang terbuka sehingga eksklusifitas itu tidak meniscayakan pihak-pihak lain yang kemudian bisa memberikan masukan. Jangan sampai kalau sudah terjadi kasus baru repot. Kadang kasusnya setahun dua tahun baru terbongkar. Sekolah cenderung tidak merespon dengan cepat karena dianggap aib,” paparnya.

Ketua Komisi A DPRD Kota Batu, Dewi Kartika mengusulkan agar merevisi Perda Kota Batu nomor 2 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Instrumen ini diyakininya untuk memberi perlindungan terhadap anak yang rentan sebagai sasaran tindak kekerasan maupun pelecehan seksual.

“Ini pendapat secara personal, sebagai seorang perempuan juga. Saya prihatin dan ikut merasakan apa yang dirasakan korban. Tidak cukup setahun atau dua tahun, trauma ini bahkan bisa sampai seumur hidup terbawa,” ujarnya.

Melalui pembaruan regulasi itu, dapat mempermudah pengawasan terhadap sekolah berbasis asrama yang cenderung tertutup. Hal inilah yang membuat pengawasan menjadi lemah.

“Pembaruan itu perlu sebagai bahan pijakan kami untuk ikut mengakses dan mengontrol sekolah asrama. Sehingga kasus yang terjadi di SMA SPI tak terulang lagi,” tutupnya.(der)

spot_img

Berita Terkini

Arikel Terkait