MALANGVOICE – Universitas Brawijaya (UB) kembali mengukuhkan dua profesor baru dari Fakultas Pertanian (FP), yakni Prof. Dr. Ir. Yayuk Yuliati, M.S., dari bidang Ilmu Sosiologi Pertanian dan Prof. Dr. Ir. Bambang Tri Rahardjo, S.U., dari bidang Ilmu Hama Tanaman.
Dalam konferensi pers pada Selasa (19/11), Yayuk Yuliati kemudian memaparkan hasil penelitiannya yang mengangkat tema “Peningkatan Kapasitas Perempuan Tani dalam Menguatkan Feminisasi Pertanian”.
Semakin berkembangnya teknologi, nyatanya pekerjaan di pertanian pun mengalami penurunan. Hal ini dibuktikan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Tahun 2010, terdapat 42,8 juta jiwa rakyat Indonesia yang menggeluti bidang pertanian, sedangkan pada tahun 2017, angkanya turun menjadi 39,7 juta jiwa. Hal ini menunjukkan persentase petani terus mengalami penurunan sebesar 1,1 persen per tahun.
Secara khusus, jumlah petani perempuan pada tahun 2016 sebesar 52,71 persen meningkat menjadi 55,04 persen pada Februari 2017. Sebaliknya, jumlah petani laki-laki yang justru menurun dari 83,46 persen menjadi 83,05 persen. Kondisi ini menunjukkan keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian semakin meningkat dibandingkan laki-laki.
“Fenomena meningkatkan jumlah tenaga kerja perempuan di sektor pertanian disebut dengan feminisasi pertanian. Dan fenomena ini disebut dengan feminisasi pertanian,” ujarnya.
Feminisasi pertanian mengacu pada peningkatan partisipasi perempuan dalam pertanian, baik sebagai produsen independen, sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar, atau sebagai pekerja upahan pertanian.
Di hampir seluruh belahan dunia telah terjadi feminisasi, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, berkembangnya sektor industri menyebabkan banyaknya lahan pertanian yang dialih fungsikan menjadi pemukiman penduduk, bangunan publik, perkantoran, dan taman hiburan yang menyebabkan keluarga petani harus mencari tambahan pendapatan, sehingga petani laki-laki meninggalkan desanya untuk mencari penghidupan yang lebih baik di kota atau di luar negeri, sementara perempuan tinggal di desa mengurusi rumahtangga dan pertaniannya.
“Fenomena feminisasi pertanian ini sebenarnya tidak masalah jika perempuan yang melanjutkan kegiatan pertanian sudah siap, artinya perempuan sudah mempunyai pengetahuan dan ketrampilan formal yang cukup seperti laki-laki, serta ikut memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses produksi pertanian,” paparnya.
Mengenai hal ini, guna meningkatkan kapasitas perempuan tani, maka ada beberapa strategi yang bisa dilakukan, yakni pemberian akses sumber daya kepada perempuan, pengurangan beban kerja perempuan, koordinasi yang kuat antara pemerintah dan masyarakat dalam merumuskan pembangunan yang berperspektif gender, serta perlu adanya diskusi dan sosialisasi gender bagi seluruh elemen masyarakat, agar tercipta kesetaraan gender khususnya dalam pembangunan pertanian.
Sementara untuk penelitian Bambang Tri Rahardjo, yakni mengambil tema “Era Baru Pengelolaan Hama Tanaman dengan Manipulasi Habitat”.
Pengertian hama tanaman seringkali rancu dengan pengertian penyakit tanaman. Karena rusaknya tanaman oleh suatu binatang, tetapi jika tidak menimbulkan kerugian ekonomi, berarti binatang tersebut bukan disebut sebagai hama.
Seperti misalnya, serangan ulat Cricula trifenestrata pada tanaman alpukat yang sampai menghabiskan seluruh daun tanaman, tetapi justru tanaman berbuah lebat, karena kotoran (fras) yang dihasilkan memberikan tambahan nutrisi bagi tanaman alpukat itu sendiri.
Salah pengertian terhadap definisi hama, menyebabkan masyarakat begitu khawatir jika setiap binatang pasti akan menjadi masalah (entomophobia). Untuk menghilangkan hama pun, masyarakat lebih memilih menggunakan pestisida.
Dalam penelitiannya, Bambang menjelaskan mengenai pentingnya manipulasi habitat dalam perspektif pengelolaan hama tanaman.
Hingga saat ini, pada umumnya petani masih menggunakan pestisida secara intensif dalam sistem budidaya tanaman, sehingga berdampak buruk karena matinya berbagai jenis binatang bermanfaat.
“Di alam telah tersedia faktor pengendali alami (natural control) tetapi terabaikan akibat sistem budidaya tanaman yang tidak ramah lingkungan. Perlu upaya untuk menumbuh kembangkan faktor pengendali alami melalui manipulasi habitat (Ecological engineering), sehingga keseimbangan alam akan kembali normal,” paparnya.
Manipulasi habitat sendiri merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan keseimbangan alam dalam agroekosistem. Berbagai contoh pengendalian hama melalui manipulasi habitat antara lain budidaya tanaman sehat atau pertanian organik, pertanian ramah lingkungan, penanaman tumbuhan untuk menarik serangga bermanfaat, seperti tanaman sejenis sawi, bunga matahari, wortel, marigold, jagung, dan tanaman buncis.
“Kajian tentang manipulasi habitat pada tanaman pertanian masih terus dilakukan sampai diperoleh model yang konsisten berdasarkan kondisi agroekologi setempat. Perlu diusulkan masuk dalam Undang-undang Sistem Budidaya Tanaman, yang mungkin salah satu klausulnya adalah mengatur tentang pentingnya melakukan manipulasi habitat dalam suatu kawasan atau landskap,” tandasnya.(Der/Aka)