MALANGVOICE– Puluhan helai kain disampirkan pada bangku-bangku yang ditata saling berhadapan dan berderet memanjang di halaman SLB Eka Mandiri, Kelurahan Ngaglik, Kota Batu.
Suasana aktivitas belajar mengajar di sekolah itu terasa berbeda dibandingkan hari-hari biasanya. Wajah ceria pun terpancar dari para peserta didik.
Mereka begitu antusias saat diberi ruang berkreasi membuat batik ciprat pada lembaran-lembaran kain yang disediakan oleh pihak sekolah. Kreasi batik ciprat yang dihasilkan nantinya akan dikenakan sebagai seragam sekolah oleh anak-anak berkebutuhan khusus yang mengenyam pendidikan di SLB Eka Mandiri.
Skema Klasterisasi Bakal Diterapkan Paslon KriDa dalam Menumbuhkan Desa Wisata di Kota Batu
Kepala SLB Eka Mandiri Kota Batu Adi Indra menuturkan, melalui kegiatan ini para pelajar ini diberi keleluasaan berkreasi dan berimajinasi dalam pembuatan batik ciprat. Kegiatan ini diikuti seluruh peserta didik dari kelas 1 SD hingga XII SMA. Mayoritas dari mereka merupakan penyandang disabilitas mulai autis, ADHD, tunarungu, tunagrahita bahkan tunanetra.
“Batik ciprat yang mereka buat, akan dipakai sebagai seragam sekolah setiap hari Kamis. Kami ingin menunjukkan, meski mereka berkebutuhan khusus, namun mereka memiliki kreativitas dan keunikan,” ujar Adi.
Pihak sekolah pun turut mengundang orang tua agar mendampingi buah hatinya saat membuat batik ciprat. Pendampingan ini dirasa penting karena anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) bersinggungan dengan peralatan dan bahan-bahan kimia. Sehingga membutuhkan pengawasan dari tiap wali murid. Seperti penggunaan api untuk melelehkan malam batik hingga proses akhir membilas kain batik dengan air panas.
“Makanya kami undang orang tua agar mendampingi mereka. Sekaligus agar para orang tua tidak berkecil hati, namun bangga dengan kreativitas anaknya. Sekalipun anak-anak ini berkebutuhan khusus, namun mereka memiliki potensi asalkan kita telaten mengarahkan dan mendidik mereka,” terang Adi.
Teknik batik ciprat untuk seragam sekolah dipilih, lantaran disesuaikan dengan kemampuan para peserta didiknya. Tak ada teknis khusus layaknya membuat batik dengan motif simetris. Dengan teknik ciprat ini, kelompok difabel diberikan kemudahan dalam berkreasi. Motif yang dihasilkan pun beragam sesuai dengan ekspresi imajinatif yang mereka bangun.
“Tiap anak menghasilkan pola bervariasi, artinya kami tidak membatasi. Bagaimanapun struktur pola yang dihasilkan, itu hasil kreasi anak-anak yang patut diapresiasi. Kemiripannya cuma pada warna, karena kami memberikan beberapa warna dasar,” imbuh dia.
Bentuk pola batik ciprat yang bervariasi ini memiliki makna merayakan kebhinekaan. Hal itu tergambar saat anak-anak diberi kesempatan membuat seragam sekolah dengan kreasi masing-masing. Corak warna dan motif pun beraneka ragam mengikuti luapan ekspresi mereka dalam memainkan komposisi warna. Tentunya, hal tersebut begitu unik dan langka, karena lazimnya bentuk pakaian seragam sekolah dirancang mirip.
“Tujuan kami ingin menunjukkan ke masyarakat luas, bahwa seragam tidak harus sama. Makanya kami memberi ruang berkreasi bagi anak-anak membuat sendiri pakaian sekolahnya. Justru ini patut diapresiasi, meski dengan keterbatasan, tapi anak-anak ini unik dan kreatif. Prinsipnya metode pembelajaran yang kami terapkan, ialah meningkatkan kualitas kompetensi sesuai bakat dan minat anak, bukan mencetak mereka secara kompetitif,” ujar Adi.(der)