Oleh: Diana AV Sasa
Sesungguhnya, Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember atau pekan terakhir jelang pungkas tahun tidak melulu diingat dengan membicarakan soal-soal besar. Di Hari Ibu, kita bisa membicarakan hal-hal yang berkaitan langsung dengan semesta kehidupan seorang ibu. Juga, segala yang diperjuangkan oleh mereka.
Hari Ibu merefleksikan soal bagaimana ibu berdaya dan memperjuangkan perbaikan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan. Sebagai sosok penjaga dian kehidupan di rumah dan di ruang publik, sosok ibu mestinya mendapatkan perlindungan dan kehidupan yang nyaman dari semua pranata di ruang publik saat sosoknya beraktivitas di luar rumah.
Pengistimewaan sosok ibu mengandaikan bahwa kita secara bersama-sama menjaga sebuah marwah kehidupan, serupa bakti kita kepada “ibu pertiwi” yang melekat dalam ingatan bersama tentang keagungan.
Dari situlah muasal betapa pemomong kehidupan ini mesti pula mendapatkan pelayanan primer dalam segala aspek.
Hal itu tidak datang dengan begitu saja. Puluhan tahun hal itu diperjuangkan. Kesetaraan pendidikan untuk perempuan sudah diperjuangkan Kartini dari Jawa Tengah dan Sartika dari Jawa Barat, untuk menyebut satu dua, dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk pencerahan pikiran dan keterampilan dasar kehidupan. Perempuan bisa menulis, perempuan bisa berorganisasi, dan perempuan bisa bekerja di banyak instansi adalah buah dari kerja juang yang berliku.
Termasuk saat saya bisa duduk di dewan bukan sesuatu yang terberi begitu saja. Itu buah dari perjuangan generasi sebelumnya selama bertahun-tahun lewat pelbagai perbaikan aturan soal “kuota gender” di parlemen.
Ibu berjuang adalah sukma dari Hari Ibu. Termasuk memperjuangkan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Pada konteks itu, saya cukup masygul saat melihat lembaga legislatif yang menjadi rumah bagi peraturan-peraturan digodok dan diperbincangkan tidak menemukan, misalnya, ruang menyusui yang layak bagi seorang ibu memberikan air susu eksklusif kepada bayinya.
Padahal, Pasal 34 Ayat 3 jelas-jelas mengamanatkan bahwa negara bertanggung jawab atas fasilitas pelayanan kesehatan yang kemudian diatur dalam Pasal 128 dan 129 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009. Intisari dari pasal-pasal itu adalah setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama enam bulan.
Untuk memperkuat pelaksanaan soal itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif.
Bagaimana aplikasinya di Gedung DPRD Jatim? Saya tidak sedang merusuh. Saya tidak melihat ada satu sudut pun di seluruh kawasan gedung dewan itu menyediakan sudut bagi ibu-ibu yang bekerja dalam gedung itu untuk memberikan ASI eksklusif kepada anak-anak bayi mereka.
Adakah pegangan aturan menyediakan ruang laktasi itu? Ada. Baca saja peraturan gubernur Jawa Timur tentang petunjuk pelaksanaan perda Provinsi Jawa Timur Nomor 11 tahun 2011. Aturan itu jelas-jelas memerintahkan kepada kabupaten/kota untuk menyediakan ruang laktasi pada perkantoran dan tempat-tempat umum.
Gedung DPRD Jatim itu adalah areal kerja dengan fokus utama legislasi. Di sana, banyak sekali perempuan yang bekerja. Mestinya, gedung ini menjadi teladan dari semua bentuk pelaksanaan undang-undang beserta segala tafsir spesifiknya. Sebelum diserahkan kepada pemerintah, mini aplikasinya ada dalam ruang lingkup kehidupan dewan.
Astaga, saya tiba-tiba membayangkan betapa terminal bus Tirtonadi Solo begitu maju soal yang tidak sepele dan kaleng-kaleng ini ketimbang gedung DPRD Jatim. Atau, betapa saya sangat menghargai usaha Dinas Kesehatan yang mendirikan lebih 400 ruang laktasi di ruang publik dan perkantoran, tetapi di DPRD Jatim luput melakukannya.
Sekali lagi, Hari Ibu adalah merefleksikan kehidupan untuk menjaga generasi berikutnya mendapatkan garansi kesehatan dasar. Ruang laktasi itu adalah bentuk garansi dari negara bahwa ia berpihak kepada ibu. Gedung-gedung semacam DPRD itu adalah representasi dari negara.
Tentu saja, ruang laktasi hanya bagian kecil dari refleksi kita terhadap Hari Ibu dan bagaimana negara tetap berdiri kukuh di atasnya. Perampasan hak hidup mereka juga merajelela dan patut mendapat perhatian serius. Hak atas rumah yang layak, tanah untuk keberlangsung kerja sebagai ibu tani, perlindungan atas kerja, hak atas upah dan cuti hamil/melahirkan yang layak di pabrik-pabrik, keselamatan kerja di luar negeri, pelayanan kesehatan melahirkan, perlindungan atas kekerasan seksual di ruang kerja, dan seterusnya, dan sebagainya.
Sekali negara abai atas perkehidupan ibu, saat itu juga negara sesungguhnya berkhianat atas keberlangsungan kehidupan negara itu sendiri.
Keluarga di mana jutaan ibu yang beroperasi menghidupkan dian hidup di dalamnya adalah tapal batu paling dasar dalam susunan struktur kehidupan kita. Ibu itu tiangnya negara. Mereka menjadi pemasok generasi terbaik yang bekerja siang-malam “demi negara”.
Para ibu ini bukanlah alat belaka yang dibutuhkan saat negara mau. Mereka dikelompokkan, bukan untuk pembebasan atas dirinya, tetapi untuk bisa dengan mudah dikontrol.
Mereka bukan objek statistik dan proyek. Bakti para ibu kepada negara tidak bisa dikalkulasi dengan uang. Di sini, negara mestilah tahu posisi, tahu diri.
Namun, menilik dari sejarah Hari Ibu, kelompok rentan itu sadar belaka bahwa mereka tidak bisa tinggal diam. Mereka tahu belaka, struktur pikiran yang masih dikuasai gender tertentu yang tidak berpihak pada pembebasan atas mereka masih sangat kuat.
Walhasil, ibu itu sendiri yang mesti memperjuangkan hak-haknya. Sebab, tak ada hasil apa pun tanpa jalan perjuangan. Selamat Hari Ibu, para “ibu negara” di Indonesia!
*) Diana AV Sasa, Pegiat Literasi dan Anggota DPRD Jawa Timur dari PDI Perjuangan 2019–2024