Mengenang Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (P­­eta)

MALANGVOICE – Memperhatikan sikap para pemimpin pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu, para pemimpin Indonesia merumuskan gagasan-gagasan tentang pembentukan tentara nasional atau pasukan sukarela. Di saat Jepang mengerakkan pasukannya ke timur di wilayah Lautan Pasifik, ditengarai akan terjadi kekosongan pasukan dalam sistem pertahanan di wilayah Pulau Jawa dan Pulau Sumatra.

Mereka pun menyampaikan surat usulan kepada pemerintah pendudukan militer Jepang di Indonesia melalui Gatot Mangkupradja setelah mendapat persetujuan dari pemimpin golongan Islam (KH Mas Mansoer dkk.), golongan priyayi (Ki Ageng Suryo Mataram), seinenden (Mr. Soepangkat dan Sadarjoen), serta R. Soedirman. Moh. Hatta pun mengemukakan dukungannya dalam pidato di lapangan Ikada (3/11/1943).

Terkondisi oleh hal tersebut, Wakil Kepala Staf Umum Markas Besar Komando Kawasan Selatan Mayor Jenderal Inada Masazumi mengusulkan agar Jepang membentuk pasukan pribumi atau boei giyugun yang kemudian dikenal dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Peta). Ini didasarkan pada pembentukan pasukan yang sudah berhasil seperti di Birma (Myanmar) dengan nama BIA (Burma Indipendence Army) yang dipimpin Aung San, dan di Malaya dikomandani Mohan Singh dengan nama INA (Indian National Army).

Pada Agustus 1944, perwira tamatan kursus kyoikutai Angkatan Pertama di tugaskan ke daidan-daidan bagian selatan Pulau Jawa. Angkatan Kedua disebar ke bagian utara Pulau Jawa, seperti Pekalongan, Cirebon, Banten, Semarang, Pati, Surabaya, dan Bojonegoro. Dilaksanakan juga pendidikan lainnya, seperti peralatan (heiki), keuangan (keiri), dan kesehatan (eisei). Selama Desember 1943 hingga Agustus 1944, pendidikan perwira Peta telah membentuk 55 daidan di Pulau Jawa. Daidan-daidan ini dibawah komando Panglima Tentara XVI Letnan Jenderal Harada Kumakichi. Komandan Pasukan (boetaicho) di Jawa Barat Mayor Jenderal Mabuchi Hayao, di Jawa Tengah Mayor Jenderal Nakamura Junji, di Jawa Timur Mayor Jenderal Iwabe Shigeo. Selanjutnya di bawahnya, komandan-komandan batalyon tentara regular Jepang (daitaicho).

Dalam perkembangannya, urusan tentara Peta diembankan kepada staf khusus Boei Giyugun Shidobu yang beranggotakan Kapten Yamazaki Hajime, tiga orang shodancho yaitu Kemal Idris, Daan Mogot, dan Zulkifli Lubis. Dari sipil, Ichiki Tatsuo, dan 3 orang Indonesia: Haji Agoes Salim, Sutan Perang Boestami, dan Otto Iskandardinata.

Di Karesidenan Malang, untuk membantu kelancaran fungsi Peta, para anggotanya diupayakan berasal dari berbagai golongan dari warga setempat. Perwira-perwira Peta yang menjadi komandan batalyon (daidancho) dipilih dari tokoh-tokoh setempat atau orang-orang terkemuka di daerah itu. Komandan kompi (chudancho) biasanya dipilih dari kalangan guru, komandan peleton (shodancho) diambil dari kalangan pelajar (SLTP/SLTA), serta komandan regu (budancho) direkrut dari pemuda-pemuda SD. Melalui tahapan proses pendidikan/ pelatihan, di Karesidenan terbentuk 5 daidan: Dai I Daidan Malang (Gondanglegi), Dai II Daidan Lumajang Pasirian, Dai III Daidan Lumajang, Dai IV Daidan Malang Kota, Dai V Daidan Probolinggo.

Dai I Daidan Malang (Gondanglegi)

Daidancho : Iskandar Soelaiman
Fukan : Soemarto (shodancho)
Eisei : dr. Ibnoe Mahoen (chudancho)
Keiri : Hendro Soewarno (shodancho)
Heiki : Soekardi (shodancho)
Sabar Sutopo (shodancho)

Dai I Chudan : Hamid Rusdi (chudancho)
Dai I Shodan : Ibnoe Soetopo (shodancho)
Dai II Shodan : Soediri Doemadi (shodancho)
Dai III Shodan : Abdoel Moekti (shodancho)

Dai I Chudan : Hamid Rusdi (chudancho)
Dai I Shodan : Ibnoe Soetopo (shodancho)
Dai II Shodan : Soediri Doemadi (shodancho)
Dai II Shodan : Soediri Doemadi (shodancho)

Dai II Chudan : Abdoel Manan (chudancho)
Dai I Shodan : Moeljono (shodancho)
Dai II Shodan : Soemeroe (shodancho)
Dai II Shodan : Soedarsono (shodancho)

Dai III Chudan : Harsono (chudancho)
Dai I Shodan : Moetakat Hoerip (shodancho)
Dai II Shodan : Ridwan Naim (shodancho)
Dai II Shodan : Soepardji (shodancho)

Dai IV Chudan : A. Masdoeki (chudancho)
Dai I Shodan : Singgih (shodancho)
Dai II Shodan : Umar Said (shodancho)
Dai II Shodan : Soepardji (shodancho)
Hombu Chudan : A. Masdoeki (chudancho)

Budancho: Soekarmen, Sarwono, Moenadji, Asnan Gozali, Soejoto, Bedjo, Soeprapto, Soeprantio, Koeswari, Rifai, Kasirin, Koesen, Achmad, Drajat, Slamet, G. Soentoro, Koesnadi, Soelaiman.

Dai IV Daidan Malang Kota

Daidancho : Imam Soedjai
Fukan : Soekardani (shodancho)
Eisei : dr. Muhamad Imam (chudancho)
Keiri : Achmad Soegiantoro (shodancho)
Heiki : Soehardi (shodancho)
Hifuku : Soesilo (shodancho)
Renraku gakari : Widjojo Soejono (shodancho)
Darsi gakari : Pandoe Soejono (shodancho)
Shudosi : Hariman (shodancho)
Honbu : Soebroto (shodancho)

Dai I Chudan : Sochifudin (chudancho)
Dai I Shodan : A. Manab Rasmosingo (shodancho)
Dai II Shodan : D. Soekardi (shodancho)
Dai III Shodan : Moh. Hidayat (shodancho)

Dai II Chudan : M. Mochlas Rowie (chudancho)
Dai I Shodan : A. Manab Rasmosingo (shodancho)
Dai II Shodan : D. Soekardi (shodancho)
Dai III Shodan : Moh. Hidayat (shodancho)

Dai III Chudan : Sulam Samsun (chudancho)
Dai I Shodan : Soejono (shodancho)
Dai II Shodan : Soekarjadi (shodancho)
Dai III Shodan : Soeprapto (shodancho)

Dai IV Chudan : Moch. Bakri (chudancho)
Dai I Shodan : Imam Hambali (shodancho)
Dai II Shodan : Aboe Amar (shodancho)
Dai III Shodan : Soebowo (shodancho)

Berlangsungnya proses pelaksanaan penyerahan kekuasaan dari Jepang kepada pihak Sekutu, dalam rapat gun-shireikan dibahas penjaminan keamananan Jepang di daerah wewenang Tentara Keenam Belas. Kesatuan-kesatuan seperti Peta dan Heiho dianggap berpoteni besar untuk bermasalah terutama dengan meletusnya pemberontakan Peta di Blitar. Pada 18 Agustus 1945 dikeluarkan perintah untuk membubarkan daidan-daidan Peta. Esok harinya, Panglima terakhir Tentara Keenam Belas di Jawa Letnan Jenderal Nagano Yuichiro menyampaikan pidato perpisahan kepada semua anggota Peta. Mereka diberi pesangon 6 bulan gaji serta pembagian bahan makanan dan bahan pakaian. (idur/Perjuangan Total Brigade IV pada Perang Kemerdekaan di Karesidenan Malang, 1997).

spot_img

Berita Terkini

Arikel Terkait